Rabu, 13 Januari 2010

Tinjauan Pustaka

A. Tinjauan Pustaka
Pembahasan tentang system yang dimiliki oleh sebuah pesantren merupakan titik penting sebagai landasan teori dalam memecahkan permasalahan yang akan diteliti. Pada bagian ini peneliti akan mengemukakan teori-teori, asumsi-asumsi maupun generalisasi yang diambil dari berbagai literature terkait.
1. Pengertian dan Sejarah Pesantren
Pesantren dipandang sebagai kelanjutan dari bentuk mandala pada masa Hindu (Moestopo, 2001: 150; Sutjiatining & Kutoyo: 1986:51). Mandala adalah sebuah asrama bagi para pertapa atau pelajar dari agama siwa yang terletak di tengah-tengah hutan yang dipinpin oleh seorang dewa guru. Tetapi ada yang berpendapat bahwa kawikuan merupakan prototype pondok pesantren yang sekarang (Sutjiatiningsih & Kutoyo, 1986: 67). Ampeldenta di Surabaya dianggap sebagai bentuk pesantren yang telah ada sejak kwartal tiga abad 15 (Sofwan, Wasit, Mundiri, 2000). Pesantren juga ada yang mengidentikkan dengan tanah perdikan (Fokkens, 1908), dewasa ini dikenal istilah pondok pesantren.
Dari segi istilah pondok pesantren berasal dari kata funduq yang berarti asrama, dan shastri yang berarti orang yang tahu buku-buku suci agama hindu. Dengan demikian pondok pesantren berarti asrama orang-orang yang tahu buku-buku suci (Sayono, 2001). Dalam arti seperti ini pondok pesantren tidak berbeda dengan pesantren. Pondok pesantren merupakan sebuah lembaga pendidikan yang sudah berdiri masa penjajahan Belanda sebagai upaya ulama-ulama Islam untuk menggembleng kader-kader umat yang tangguh dan gigih dalam mengembangkan agama serta menentang penjajah. Pesantren dideskripsikan sebagai tempat pendidikan yang menjadi rujukan mengembangkan nilai-nilai kesalehan berdasar Islam.
Manfred Ziamek menyebutkan bahwa asal etimologi dari pesantren adalah pe-santri-an.”tempat santri”. Santri atau murid (umumnya sangat berbeda-beda) mendapat pelajaran dari pimpinan pesantren (Kiayi)dan oleh para guru (ulama dan ustadz).
Dari beberapa pengertian, peneliti menyimpulkan bahwa pesantren adalah suatu lembaga pendidikan islam di Indonesia yang bertujuan untuk mendalami ilmu agama islam dan umum serta mengamalkannya sebagai penghayatan atau pengamalan sebagai wujud dari pemahaman ajaran-ajaran syariat islam.
2. Pengertian Santri dan Ngaji
Menurut Nurchoish Madjid, istilah santri memiliki dua arti. Pertama, kata santri berasal dari perkataan “sastri”, sebuah kata dari bahasa Sansakerta, yang berarti “melek huruf”. Kedua, kata santri sesungguhnya berasal dari bahasa Jawa, persisnya dari kata “cantrik”, yang artinya “seseorang yang selalu mengikuti seorang guru ke mana guru ini pergi menetap”. Yang tujuan dari seseorang ini adalah untuk mencari ilmu agama baik itu ilmu tauhid, ilmu fiqh, ilmu mantiq, ilmu tafsir, ilmu nahwu dan sharaf ataupun ilmu-ilmu yang lainnya.
Ngaji, kata yang tidak akan lepas dengan pekerjaan santri. Ngaji menurut Nurchoish Madjid, proses bergurunya seorang santri terhadap kiayi. Kata ngaji bentuk kata kerja aktif dari perkataan “kaji”, yang berarti ”mengikuti jejak haji”, atau aji yang berarti “terhormat”, “mahal” atau “kadang-kadang”. Jadi, ngaji dalam hal ini berarti”mencari sesuatu yang berharga, atau menjadikan diri terhormat, atau berharga”.
3. Pengertian Kitab Kuning
Kitab kuning sering disebut al-kutub al-qadimah. Disebut demikian karena kitab-kitab tersebut dikarang lebih dari seratus tahun yang lalu. Ada juga yang menyebutkannya sebagai al-kutub al-sharfa atau “kitab kuning” karena biasanya kitab-kitab itu dicetak di atas kertas berwarna kuning. Ciri lain dari literature yang dipergunakan dipesantren itu ialah beraksara Arab tanpa harakat atau syakal. Keadaannya yang gundul itu pada sisi lain ternyata merupakan bagian dari pembelajaran itu sendiri.
4. Sejarah Singkat Pesantren Kalangsari
Kalangsari berasal dari bahasa sunda yang terdiri dari dua kata yaitu Kalang dan Sari. Kalang artinya tempat atau arena sedangkan sari artinya indah yang diidentikan dengan putik sari bunga. Jadi Kalangsari artinya tempat yang penuh dengan keindahan. Dalam hal ini keindahan tersebut dapat diartikan sebagai keindahan majazi maupun hakiki, secara hakiki berarti segala sesuatu yang setiap orang gembira dengan keadaan lingkungan yang asri, hijau dan sungai yang mengalir. Keindahan secara majazi berarti Pondok Pesantren Kalangsari diumpamakan sebagai keindahan yang setiap orang dapat dengan rasa nyaman dan gembira menuntut ilmu dan mengembangkan potensinya guna membentuk generasi muslim yang berkualitas.
Pondok Pesantren Kalangsari di dirikan oleh KH Abdul Madjid yang lebih dikenal dengan sebutan Agan Didi pada tahun 1928 dengan diawali oleh 10 orang Santri, mereka membuka lahan belantara untuk dijadikan tempat menuntut ilmu. Pertama kali beliau mendirikan sebuah Mesjid yang sampai saat ini masih ada dan masih terlihat keasliannya walaupun sudah mengalami beberapa kali pemugaran.
Pada tahun 1970 KH Abdul Madjid meninggal dan digantikan oleh KH. Muhammad Tasdikin hingga tahun 1995. Sejak itulah perkembangan Pondok Pesantren Kalangsari semakin pesat dengan didirikannya lembaga pendidikan formal seperti Pesantren Tsanawiyah didirikan pada tahun 1976, Pesantren Aliyah pada tahun 1986 sekaligus mendirikan Yayasan Pendidikan Kalangsari yang sampai sekarang di Pimpin Oleh KH. Moch Hayat Arifin. Sepeninggal KH. Muhammad Tasdikin kepemimpinan beralih kepada KH. Bahrudin dan KH Muchsin. Sampai sekarang, kemajuan yang dicapai seperti : Majlis Ta’lim (sejak KH Abdul Madjid 1928), Pondok Pesantren, Pesantren Aliyah (MA), Pesantren Tsanawiyah (MTs), Pesantren Ibtidaiyah (MI) pada tahun 2008, Pesantren Diniyah (MD) (2000), KBIH (2004), dan Pesantren Luar Biasa (SLB) pada tahun 2005.
Secara kelembagaan Pesantren berada dibawah Yayasan yaitu Yayasan Pendidikan Kalangsari (YPK), yayasan ini membawahi beberapa lembaga yaitu Majlis Ta’lim, Pondok Pesantren, Madrasah Aliyah, Madrasah Tsanawiyah, Madrasah Ibtidaiyah, Diniyah Takmiliyah Awaliyah, Sekolah Pesantren Luar Biasa (SLB) dan Kelompok Bimbingan Ibadah Haji (KBIH).
5. Sistem pembelajaran di pondok pesantren Kalangsari
Pesantren Kalangsari merupakan pesantren yang bersifat kombinasi yaitu campuran antara system sapaliyah dan konvensional. Sistem pembelajaran yang diterapkan pesantren secara umum tidak memiliki peraturan yang nyata dari pihak pemerintah. Di Pesantren Kalangsari untuk mencapai ilmu pengetahuan agama seorang santri menggalinya dengan system pengajian wetonan, sorogan dan halaqah.
Dalam sistem sorogan, seorang santri bebas untuk memilih kitab kuning yang akan diajikan kepada seorang ustadz. Dalam sistem ini, si santri akan berhadapan langsung dengan ustadz. Di santri mendengarkan bacaan ustadznya dengan seksama. Setelah selesai santri mengulang apa yang dibacakan tadi. Santri tidak memiliki kesempatan untuk bertanya dalam artian pembelajaran ini bersipat satu arah. Hanya saja system ini mengacu si santri untuk bisa membaca kitab kuning dengan pasih tanpa mengetahui makna yang sebenarnya. Ada beberapa metode dalam menempuh pembelajar di pesantren Kalangsari yaitu:
a. Wetonan/bandungan atau collective learning process
Adalah metode kuiah dimana para santrimengikuti pelajaran dengan duduk di sekeliling Kiayi. Istilah weton ini berasal dari kata wektu (bahasa jawa) yang berarti waktu. Disini seorang kiayi membacakan manuskrif-manuskrif keagamaan klasik berbahasa Arab (dikenal dengan sebutan kitab kuning), sementara para santri mendengarkan sambil memberi catatan (ngalogat, Sunda). Metode ini dilakukan dalam waktu tertentu seperti setelah shalat shalat subuh pada hari-hari tertentu pula.
b. Sorogan atau individual learning process
Adalah metode kuliah dengan cara santri menghadap guru seorang demi seorang dengan membawa kitab yang akan dipelajari. Sorogan berasal dari kata sorog (bahasa jawa), yang memiliki arti menyodorkan atau menyerahkan. Dalam Metode pembelajaran ini para santri juga ditugaskan membaca kitab, sementara kyai atau ustad yang sudah mumpuni menyimak sambil mengoreksi dan mengevalusi bacaan dan performance seorang santri. Ada nilai sebuah pendekatan secara individual antara kyai dan santri.
c. Hapalan
Adalah proses dimana seorang santri ditugaskan untuk menghapal sebuah kitab ataupun ayat-ayat al-qur’an. Biasanya kitab yang dihapalkan berupa kitab nahwu dan sharaf seperti kitab jurmiyah, nadholum maksud ataupun alfiyah. Santri tidak hanya ditekankan dalam hapalan secara teks saja tetapi lebih pada pemahaman, analisis dan evaluasi. Seorang santri yang memiliki hapalan yang tinggi dijadikan tolak ukur bahwa dia sudah mumpuni dalam keilmuannya.
d. Halaqah
Adalah model pembelajaran yang menggunakan sistem diskusi. Dimana para santri mengikuti sebuah kajian masalah. Yang dihalaqahkan berupa ilmu tahuid, fiqh, qiroat dan ilmu nahwu. Penekanan dalam pembelajaran ini adalah santri memiliki bekal dasar-dasar keilmuan agama Islam yang dapat dipertanggungjawabkan.

e. Pidato
Pidato merupakan lahan pembinaan kepada para santri untuk menjadi seorang mubaligh/mubalighah. Dalam metode ini santri diharapkan memiliki mental yang kuat siap untuk berdakwah dengan cara ajakan berupa ucapan ataupun ajakan berupa tingkah laku atau perbuatan.
Dalam melewati beberapa metode yang dimunculkan di pesantren Kalangsari diharapkan santri memiliki pribadi yang dicita-citakan oleh sebuah moto pesantren Kalangsari yaitu menjadi Muslim yang ahli dzikir, Mukmin yang ahli pikir dan Muhsin yang ahli ihtiar. Model motto ini diambil dari dua pesantren terkemuka yaitu pesantren Darussalam Ciamis dan Daarut Tauhiid, Bandung. Karena kedua pesantren ini merupakan kiblat dari napas pondok pesantren Kalangsari.
6. Pemahaman Kitab Kuning
Pemahaman kitab kuning merupakan sebuah kemistian seorang santri yang menuntut ilmu di pesantren. Seorang santri yang berhasil adalah dimana santri tersebut sudah pasih membaca sekaligus menterjemahkan kitab kuning. Dalam pemahaman kitab kuning, si santri harus bisa:
1. Membacanya sesuai dengan nahwu dan sharafnya
2. Memiliki mufradat yang banyak sehingga pembendaharaan katanya cukup luas.
3. Bisa memberikan penjelasan kembali pada santri yang lainnya.
4. Bisa membaca kitab kuning lainnya tanpa sebelumnya mempelajari kitab tersebut.

Tidak ada komentar: