Minggu, 28 Maret 2010

NIKAH JARAK JAUH

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah
Pernikahan merupakan sebuah sunnatullah yang umum berlaku pada semua makhluk Tuhan, baik pada manusia, hewan maupun tumbuhan. Hal ini dapat dilihat dalam surat Adz_dzariat ayat 49. Dan banyak ayat-ayat lain yang membahas tentang bahwa dalam alam semesta ini Allah menciptakannya dengan saling berjodoh. Dalam pernikahan seorang muslim dalam abad sekarang dituntut untuk berhati-hati karena banyak permasalahan dalam perkawinan yang timbul akibat pemikiran dan hawa napsu manusia itu sendiri. Yang tidak berpegang kepada Al-qur’an dan As-Sunnah.
Usul fiqh adalah solusi untuk memecahkan berbagai masalah ibadah mahdah maupun goer mahdah yang tentunya berlandas pada al-qur’an dan as-sunnah.
Dalam penyusunan makalah ini, kami penyusun akan menitik beratkan pada pembahasan tentang bagaimanakah pandangan Islam terhadap akad nikah dengan jarak jauh. Hal yang tidak mudah untuk kami bahas. Tapi dengan memiliki ilmu ushul fiqh mari kita telaah lebih lanjut permasahan ini melalui berbagai studi pustaka.




1.2 Batasan Masalah
Sebelum merumuskan masalah yang dihadapi, perlu melakukan identifikasi terlebih dahulu. Berkaitan dengan hal tersebut, maka beberapa permasalahan muncul adalah.
1. Bagaimanakah pandangan Islam terhadap aqad nikah jarak jauh ?
2. Bagaimanakah hubungannya dengan ilmu ushul fiqh ?
3. Apa dasar dari hukum aqad nikah jarak jauh ?

1.3 Maksud dan Tujuan
Maksud dan tujuan dari pembuatan makalah ini adalah :
1. Memahami begitu agungnya ajaran Islam khususnya dalam hukum ?
2. Mempelajari aqad nikah jarak jauh ?

BAB II
AKAD NIKAH JARAK JAUH

Aqad nikah merupakan syarat perkawinan yang mesti dilakukan sebagai tanda ridha dan persetujuan dari pihak lelaki dan perempuan. Ijab merupakan pernyataan pertama sebagai menunjutk kemauan untuk membentuk hubungan suami-istri dan qabul adalah pernyataan kedua yang dinyatakan oleh pihak yang mengadakan aqad berikutnya unttuk menyatakan rasa ridha dan setujunya pernikahan.
Ada beberapa syarat harus dipenuhi dalam ijab qabul, diantaranya :
1. Kedua belah pihak sudah tamyiz
2. Ijaq Qabulnya dalam satu majlis, yaitu ketika mengucapkan ijab qabul tidak boleh diselingi dengan kata-kata lain.Tetapi di dalam ijab dan qabul tak ada syarat harus langsung. Bilamana majlisnya berjalan lama dan abtara ujab qabul ada tenggang waktu, tetapi tanpa menghalangi upacara ijab qabul, maka tetap dianggap satu majlis. Sama dengan ini pendapat golongan Hanafi dan Hambali.
Dari Ahmad diriwayatkan, ada seorang laki-laki didatangi suaut dakum seraya berkata padanya: “Kawinkanlah si Fulan” Jawabannya “ Ya. Aku kawinkan ia dengan mahar Seribu”. Lalu mereka kembali kepada laki-laki itu dan mereka khabarkan kepadanya, lalu jawabnya: “Ya, saya terima” (Imam Ahamad ditanya: “apakah boleh aqad nikah dengan cara begini?” Jawabnya: “boleh”.
3. Hendaklah ucapan qabul tidak menyalahi ucapan ijab, kecuali kalau lebih baik dari ucapan ijabnya sendiri yang menunjukan pernyataan persetujuannya lebih tegas.
4. Pihak-pihak yang melakukan aqad haurs dapat mendengarkan pernyataan masing-masing dengan kalimat yang maksudnya menyatakan terjadinya pelaksanaan aqad nikah, sekalipun kata-katanya ada yang tidak dapat difahami, karena yang dipetimbangkan di sini ialah maksud dan niat, baukan mengerti setiap kata-kata yang dinyatakan dalam ijab dan qabul.

Ijab qabul Orang yang ghaib (tidak hadir)
Bilamana salah seorang dari pasangan pengantin tidak ada tetapi mau melanjutkan aqad nikahnya, maka wajiblah ia mengirim wakilnya atau menulis surat kepada pihak lainnya meminta diaqadnikahkan, dan pihak yang lain ini jika memang mau menerima kehendaknya dia menghadirkan para saksi dan membacakan isi suratnya kepada mereka, atau menunjukan wakilnya kepada mereka dan mempersilakan kepada mereka di dalam majlisnya bahwa aqad nikahnya telah diterimanya. Dengan demikian dianggap masih dalam satu majlis.
Dalam syariat Islam, akad nikah tidak terjadi antara seorang calon suami dengan calon isteri. Melainkan antara ayah kandung seorang wanita dengan laki-laki yang akan menjadi suaminya. Maka tidak ada akad nikah kalau tidak melibatkan keduanya bersama. Syarat mutlak dari sebuah pernikahan adalah akad antara ayah kandung pengantin wanita dengan seorang calon suami.Dalam implementasinya, seorang ayah kandung boleh saja meminta orang lain untuk bertindak mewakili dirinya, namun harus dengan penyerahan wewenang secara sah dan resmi. Tidak boleh dirampas begitu saja.
Sehingga pernikahan jarak jauh tetap bisa dilakukan. Maksudnya, meski ayah kandung tidak ikut dalam akad nikah, dia boleh mewakilkan otoritasnya kepada orang lain yang memenuhi syarat sebagai wali untuk bertindak atas nama dirinya menikahkan puterinya.





BAB III
KESIMPULAN

Pernikahan merupakan hal yang sangat logis dan biologis bagi makhluk hidup. Dalam ketetapannya hal ini sudah jelas di bahas dalam al-qur’an dalam seperti dalam surat adz-dzariat ayat 49, yaa siin ayat 36, al-Hujuraat ayat 13 dan surat An-nisa ayat 1. Dan masih ada banyak dalil-dalil yang berkenaan tentang pernikahan.
Namun dalam perkembangan zaman, masalah sering timbul dalam pernikahan seumpamuanya yang dibahas dalam makalah ini. Bagaimanakah pandangan Islam terhadap aqad nikah jarak jauh?. Pertanyaan ini di jawab dengan makalah ini bahwa pernikahannya syah dengan syarat dalam satu majlis. Meski kedua mempelai berjauhan tetapi adanya saksi dan pengijab dan pengqabul merupakan orang yang syah.

Rabu, 13 Januari 2010

Tinjauan Pustaka

A. Tinjauan Pustaka
Pembahasan tentang system yang dimiliki oleh sebuah pesantren merupakan titik penting sebagai landasan teori dalam memecahkan permasalahan yang akan diteliti. Pada bagian ini peneliti akan mengemukakan teori-teori, asumsi-asumsi maupun generalisasi yang diambil dari berbagai literature terkait.
1. Pengertian dan Sejarah Pesantren
Pesantren dipandang sebagai kelanjutan dari bentuk mandala pada masa Hindu (Moestopo, 2001: 150; Sutjiatining & Kutoyo: 1986:51). Mandala adalah sebuah asrama bagi para pertapa atau pelajar dari agama siwa yang terletak di tengah-tengah hutan yang dipinpin oleh seorang dewa guru. Tetapi ada yang berpendapat bahwa kawikuan merupakan prototype pondok pesantren yang sekarang (Sutjiatiningsih & Kutoyo, 1986: 67). Ampeldenta di Surabaya dianggap sebagai bentuk pesantren yang telah ada sejak kwartal tiga abad 15 (Sofwan, Wasit, Mundiri, 2000). Pesantren juga ada yang mengidentikkan dengan tanah perdikan (Fokkens, 1908), dewasa ini dikenal istilah pondok pesantren.
Dari segi istilah pondok pesantren berasal dari kata funduq yang berarti asrama, dan shastri yang berarti orang yang tahu buku-buku suci agama hindu. Dengan demikian pondok pesantren berarti asrama orang-orang yang tahu buku-buku suci (Sayono, 2001). Dalam arti seperti ini pondok pesantren tidak berbeda dengan pesantren. Pondok pesantren merupakan sebuah lembaga pendidikan yang sudah berdiri masa penjajahan Belanda sebagai upaya ulama-ulama Islam untuk menggembleng kader-kader umat yang tangguh dan gigih dalam mengembangkan agama serta menentang penjajah. Pesantren dideskripsikan sebagai tempat pendidikan yang menjadi rujukan mengembangkan nilai-nilai kesalehan berdasar Islam.
Manfred Ziamek menyebutkan bahwa asal etimologi dari pesantren adalah pe-santri-an.”tempat santri”. Santri atau murid (umumnya sangat berbeda-beda) mendapat pelajaran dari pimpinan pesantren (Kiayi)dan oleh para guru (ulama dan ustadz).
Dari beberapa pengertian, peneliti menyimpulkan bahwa pesantren adalah suatu lembaga pendidikan islam di Indonesia yang bertujuan untuk mendalami ilmu agama islam dan umum serta mengamalkannya sebagai penghayatan atau pengamalan sebagai wujud dari pemahaman ajaran-ajaran syariat islam.
2. Pengertian Santri dan Ngaji
Menurut Nurchoish Madjid, istilah santri memiliki dua arti. Pertama, kata santri berasal dari perkataan “sastri”, sebuah kata dari bahasa Sansakerta, yang berarti “melek huruf”. Kedua, kata santri sesungguhnya berasal dari bahasa Jawa, persisnya dari kata “cantrik”, yang artinya “seseorang yang selalu mengikuti seorang guru ke mana guru ini pergi menetap”. Yang tujuan dari seseorang ini adalah untuk mencari ilmu agama baik itu ilmu tauhid, ilmu fiqh, ilmu mantiq, ilmu tafsir, ilmu nahwu dan sharaf ataupun ilmu-ilmu yang lainnya.
Ngaji, kata yang tidak akan lepas dengan pekerjaan santri. Ngaji menurut Nurchoish Madjid, proses bergurunya seorang santri terhadap kiayi. Kata ngaji bentuk kata kerja aktif dari perkataan “kaji”, yang berarti ”mengikuti jejak haji”, atau aji yang berarti “terhormat”, “mahal” atau “kadang-kadang”. Jadi, ngaji dalam hal ini berarti”mencari sesuatu yang berharga, atau menjadikan diri terhormat, atau berharga”.
3. Pengertian Kitab Kuning
Kitab kuning sering disebut al-kutub al-qadimah. Disebut demikian karena kitab-kitab tersebut dikarang lebih dari seratus tahun yang lalu. Ada juga yang menyebutkannya sebagai al-kutub al-sharfa atau “kitab kuning” karena biasanya kitab-kitab itu dicetak di atas kertas berwarna kuning. Ciri lain dari literature yang dipergunakan dipesantren itu ialah beraksara Arab tanpa harakat atau syakal. Keadaannya yang gundul itu pada sisi lain ternyata merupakan bagian dari pembelajaran itu sendiri.
4. Sejarah Singkat Pesantren Kalangsari
Kalangsari berasal dari bahasa sunda yang terdiri dari dua kata yaitu Kalang dan Sari. Kalang artinya tempat atau arena sedangkan sari artinya indah yang diidentikan dengan putik sari bunga. Jadi Kalangsari artinya tempat yang penuh dengan keindahan. Dalam hal ini keindahan tersebut dapat diartikan sebagai keindahan majazi maupun hakiki, secara hakiki berarti segala sesuatu yang setiap orang gembira dengan keadaan lingkungan yang asri, hijau dan sungai yang mengalir. Keindahan secara majazi berarti Pondok Pesantren Kalangsari diumpamakan sebagai keindahan yang setiap orang dapat dengan rasa nyaman dan gembira menuntut ilmu dan mengembangkan potensinya guna membentuk generasi muslim yang berkualitas.
Pondok Pesantren Kalangsari di dirikan oleh KH Abdul Madjid yang lebih dikenal dengan sebutan Agan Didi pada tahun 1928 dengan diawali oleh 10 orang Santri, mereka membuka lahan belantara untuk dijadikan tempat menuntut ilmu. Pertama kali beliau mendirikan sebuah Mesjid yang sampai saat ini masih ada dan masih terlihat keasliannya walaupun sudah mengalami beberapa kali pemugaran.
Pada tahun 1970 KH Abdul Madjid meninggal dan digantikan oleh KH. Muhammad Tasdikin hingga tahun 1995. Sejak itulah perkembangan Pondok Pesantren Kalangsari semakin pesat dengan didirikannya lembaga pendidikan formal seperti Pesantren Tsanawiyah didirikan pada tahun 1976, Pesantren Aliyah pada tahun 1986 sekaligus mendirikan Yayasan Pendidikan Kalangsari yang sampai sekarang di Pimpin Oleh KH. Moch Hayat Arifin. Sepeninggal KH. Muhammad Tasdikin kepemimpinan beralih kepada KH. Bahrudin dan KH Muchsin. Sampai sekarang, kemajuan yang dicapai seperti : Majlis Ta’lim (sejak KH Abdul Madjid 1928), Pondok Pesantren, Pesantren Aliyah (MA), Pesantren Tsanawiyah (MTs), Pesantren Ibtidaiyah (MI) pada tahun 2008, Pesantren Diniyah (MD) (2000), KBIH (2004), dan Pesantren Luar Biasa (SLB) pada tahun 2005.
Secara kelembagaan Pesantren berada dibawah Yayasan yaitu Yayasan Pendidikan Kalangsari (YPK), yayasan ini membawahi beberapa lembaga yaitu Majlis Ta’lim, Pondok Pesantren, Madrasah Aliyah, Madrasah Tsanawiyah, Madrasah Ibtidaiyah, Diniyah Takmiliyah Awaliyah, Sekolah Pesantren Luar Biasa (SLB) dan Kelompok Bimbingan Ibadah Haji (KBIH).
5. Sistem pembelajaran di pondok pesantren Kalangsari
Pesantren Kalangsari merupakan pesantren yang bersifat kombinasi yaitu campuran antara system sapaliyah dan konvensional. Sistem pembelajaran yang diterapkan pesantren secara umum tidak memiliki peraturan yang nyata dari pihak pemerintah. Di Pesantren Kalangsari untuk mencapai ilmu pengetahuan agama seorang santri menggalinya dengan system pengajian wetonan, sorogan dan halaqah.
Dalam sistem sorogan, seorang santri bebas untuk memilih kitab kuning yang akan diajikan kepada seorang ustadz. Dalam sistem ini, si santri akan berhadapan langsung dengan ustadz. Di santri mendengarkan bacaan ustadznya dengan seksama. Setelah selesai santri mengulang apa yang dibacakan tadi. Santri tidak memiliki kesempatan untuk bertanya dalam artian pembelajaran ini bersipat satu arah. Hanya saja system ini mengacu si santri untuk bisa membaca kitab kuning dengan pasih tanpa mengetahui makna yang sebenarnya. Ada beberapa metode dalam menempuh pembelajar di pesantren Kalangsari yaitu:
a. Wetonan/bandungan atau collective learning process
Adalah metode kuiah dimana para santrimengikuti pelajaran dengan duduk di sekeliling Kiayi. Istilah weton ini berasal dari kata wektu (bahasa jawa) yang berarti waktu. Disini seorang kiayi membacakan manuskrif-manuskrif keagamaan klasik berbahasa Arab (dikenal dengan sebutan kitab kuning), sementara para santri mendengarkan sambil memberi catatan (ngalogat, Sunda). Metode ini dilakukan dalam waktu tertentu seperti setelah shalat shalat subuh pada hari-hari tertentu pula.
b. Sorogan atau individual learning process
Adalah metode kuliah dengan cara santri menghadap guru seorang demi seorang dengan membawa kitab yang akan dipelajari. Sorogan berasal dari kata sorog (bahasa jawa), yang memiliki arti menyodorkan atau menyerahkan. Dalam Metode pembelajaran ini para santri juga ditugaskan membaca kitab, sementara kyai atau ustad yang sudah mumpuni menyimak sambil mengoreksi dan mengevalusi bacaan dan performance seorang santri. Ada nilai sebuah pendekatan secara individual antara kyai dan santri.
c. Hapalan
Adalah proses dimana seorang santri ditugaskan untuk menghapal sebuah kitab ataupun ayat-ayat al-qur’an. Biasanya kitab yang dihapalkan berupa kitab nahwu dan sharaf seperti kitab jurmiyah, nadholum maksud ataupun alfiyah. Santri tidak hanya ditekankan dalam hapalan secara teks saja tetapi lebih pada pemahaman, analisis dan evaluasi. Seorang santri yang memiliki hapalan yang tinggi dijadikan tolak ukur bahwa dia sudah mumpuni dalam keilmuannya.
d. Halaqah
Adalah model pembelajaran yang menggunakan sistem diskusi. Dimana para santri mengikuti sebuah kajian masalah. Yang dihalaqahkan berupa ilmu tahuid, fiqh, qiroat dan ilmu nahwu. Penekanan dalam pembelajaran ini adalah santri memiliki bekal dasar-dasar keilmuan agama Islam yang dapat dipertanggungjawabkan.

e. Pidato
Pidato merupakan lahan pembinaan kepada para santri untuk menjadi seorang mubaligh/mubalighah. Dalam metode ini santri diharapkan memiliki mental yang kuat siap untuk berdakwah dengan cara ajakan berupa ucapan ataupun ajakan berupa tingkah laku atau perbuatan.
Dalam melewati beberapa metode yang dimunculkan di pesantren Kalangsari diharapkan santri memiliki pribadi yang dicita-citakan oleh sebuah moto pesantren Kalangsari yaitu menjadi Muslim yang ahli dzikir, Mukmin yang ahli pikir dan Muhsin yang ahli ihtiar. Model motto ini diambil dari dua pesantren terkemuka yaitu pesantren Darussalam Ciamis dan Daarut Tauhiid, Bandung. Karena kedua pesantren ini merupakan kiblat dari napas pondok pesantren Kalangsari.
6. Pemahaman Kitab Kuning
Pemahaman kitab kuning merupakan sebuah kemistian seorang santri yang menuntut ilmu di pesantren. Seorang santri yang berhasil adalah dimana santri tersebut sudah pasih membaca sekaligus menterjemahkan kitab kuning. Dalam pemahaman kitab kuning, si santri harus bisa:
1. Membacanya sesuai dengan nahwu dan sharafnya
2. Memiliki mufradat yang banyak sehingga pembendaharaan katanya cukup luas.
3. Bisa memberikan penjelasan kembali pada santri yang lainnya.
4. Bisa membaca kitab kuning lainnya tanpa sebelumnya mempelajari kitab tersebut.

Selasa, 12 Januari 2010

makalah madrasah diniyah

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah
Madrasah Diniyah adalah lembaga pendidikan yang memberikan pendidikan dan pengajaran secara klasikal yang bertujuan untuk memberi tambahan pengetahuan agama Islam kepada pelajar-pelajar yang merasa kurang menerima pelajaran agama Islam di sekolahannya.
Keberadaan lembaga ini sangat menjamur dimasyarakat karena merupakan sebuah kebutuhan pendidikan anak-anak pra dewasa. Apalah lagi sudah memiliku legalitas dari pemerintah melalui perundang-undangannya. Kelegalitasan ini menuntut Madrasah Diniyah untuk memiliki kurikulum yang mendukung, keadminitrasian yang mapan serta managemen yang professional.
Dalam makalah ini penulis akan mengupas sedikit tentang keadministrasikan, kurikulum madrasah diniyah yang insya Allah akan membentuk kepercayaan masyarakat terhadap lembaga madrasah ini.

1.2 Batasan Masalah
Sebelum merumuskan masalah yang dihadapi, perlu melakukan identifikasi terlebih dahulu. Berkaitan dengan hal tersebut, maka beberapa permasalahan muncul adalah.


1. Bagaimanakah kurikulum yang digunakan di Madrasah Diniyah ?
2. Bagaimanakah tahapan keadministrasian Madrasah Diniyah hingga terkesan ketinggalan zaman ?

1.3 Maksud dan Tujuan
Maksud dan tujuan dari pembuatan makalah ini adalah :
1. Mempelajari kurikulum dan keadministrasian Madrasah Diniyah.
2. Mengetahui bagaimana menjadikan Madarah Diniyah yang ideal.

BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Pengertian Madrasah Diniyah
Sejarah Islam di Indonesia memperlihatkan bahwa pendidikan keagamaan di sini tumbuh dan berkembang seiring dengan dinamika kehidupan masyarakat Muslim. Selama kurun waktu yang panjang, pendidikan keagamaan Islam berjalan secara tradisi, berupa pengajian al-Qur'an dan pengajian kitab, dengan metode yang dikenalkan (terutama di Jawa) dengan nama sorogan, bandongan dan halaqah. Tempat belajar yang digunakan umumnya adalah ruang-ruang masjid atau tempat-tempat shalat “umum” yang dalam istilah setempat disebut: surau, dayah, meunasah, langgar, rangkang, atau mungkin nama lainnya.
Perubahan kelembagaan paling penting terjadi setelah berkembangnya sistem klasikal, yang awalnya diperkenalkan oleh pemerintah kolonial melalui sekolah-sekolah umum yang didirikannya di berbagai wilayah Nusantara. Di Sumatera Barat pendidikan keagamaan klasikal itu dilaporkan dipelopori oleh Zainuddin Labai el-Junusi (1890-1924), yang pada tahun 1915 mendirikan sekolah agama sore yang diberi nama “Madrasah Diniyah” (Diniyah School, al-Madrasah al-Diniyah) (Noer 1991:49; Steenbrink 1986:44). Sistem klasikal seperti rintisan Zainuddin berkembang pula di wilayah Nusantara lainnya, terutama yang mayoritas penduduknya Muslim. Di kemudian hari lembaga-lembaga pendidikan keagamaan itulah yang menjadi cikal bakal dari madrasah-madrasah formal yang berada pada jalur sekolah sekarang. Meskipun sulit untuk memastikan kapan madrasah didirikan dan madrasah mana yang pertama kali berdiri, namun Departemen Agama (dahulu Kementerian Agama) mengakui bahwa setelah Indonesia merdeka sebagian besar sekolah agama berpola madrasah diniyahlah yang berkembang menjadi mad-rasah-madrasah formal (Asrohah 1999:193). Dengan perubahan tersebut berubah pula status kelembagaannya, dari jalur “luar sekolah” yang dikelola penuh oleh masyarakat menjadi “sekolah” di bawah pembinaan Departemen Agama.
Meskipun demikian tercatat masih banyak pula madrasah diniyah yang mempertahankan ciri khasnya yang semula, meskipun dengan status sebagai pendidikan keagamaan luar sekolah. Pada masa yang lebih kemudian, mengacu pada Peraturan Menteri Agama Nomor 13 Tahun 1964, tumbuh pula madrasah-madrasah diniyah tipe baru, sebagai pendidikan tambahan berjenjang bagi murid-murid sekolah umum. Madrasah diniyah itu diatur mengikuti tingkat-tingkat pendi-dikan sekolah umum, yaitu Madrasah Diniyah Awwaliyah untuk murid Sekolah Dasar, Wustha untuk murid Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama, dan 'Ulya untuk murid Sekolah Lanjutan Tingkat Atas. Madrasah diniyah dalam hal itu dipandang sebagai lembaga pendidikan keagamaan klasikal jalur luar sekolah bagi murid-murid sekolah umum. Data EMIS (yang harus diperlakukan sebagai data sementara karena ketepatan-nya dapat dipersoalkan) mencatat jumlah madrasah diniyah di Indonesia pada tahun ajaran 2005/2006 seluruhnya 15.579 buah dengan jumlah murid 1.750.010 orang.
Berdasarkan Undang-undang Pendidikan dan Peraturan Pemerintah. Madrasah Diniyah adalah bagian terpadu dari pendidikan nasional untuk memenuhi hasrat masyarakat tentang pendidikan agama. Madrasah Diniyah termasuk ke dalam pendidikan yang dilembagakan dan bertujuan untuk mempersiapkan peserta didik dalam penguasaan terhadap pengetahuan agama Islam.
UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang ditindaklanjuti dengan disyahkannya PP No. 55 Tahun 2007 tentang pendidikan agama dan keagamaan memang menjadi babak baru bagi dunia pendidikan agama dan keagamaan di Indonesia. Karena itu berarti negara telah menyadari keanekaragaman model dan bentuk pendidikan yang ada di bumi nusantara ini.
Keberadaan peraturan perundangan tersebut seolah menjadi ”tongkat penopang” bagi madrasah diniyah yang sedang mengalami krisis identitas. Karena selama ini, penyelenggaraan pendidikan diniyah ini tidak banyak diketahui bagaimana pola pengelolaannya. Tapi karakteristiknya yang khas menjadikan pendidikan ini layak untuk dimunculkan dan dipertahankan eksistensinya.
Secara umum, setidaknya sudah ada beberapa karakteristik pendidikan diniyah di bumi nusantara ini. Pertama, Pendidikan Diniyah Takmiliyah (suplemen) yang berada di tengah masyarakat dan tidak berada dalam lingkaran pengaruh pondok pesantren. Pendidikan diniyah jenis ini betul-betul merupakan kreasi dan swadaya masyarakat, yang diperuntukkan bagi anak-anak yang menginginkan pengetahuan agama di luar jalur sekolah formal. Kedua, pendidikan diniyah yang berada dalam lingkaran pondok pesantren tertentu, dan bahkan menjadi urat nadi kegiatan pondok pesantren. Ketiga, pendidikan keagamaan yang diselenggarakan sebagai pelengkap (komplemen) pada pendidikan formal di pagi hari. Keempat, pendidikan diniyah yang diselenggarakan di luar pondok pesantren tapi diselenggarakan secara formal di pagi hari, sebagaimana layaknya sekolah formal.

2.2. Ciri-ciri Madrasah Diniyah
Dengan meninjau secara pertumbuhan dan banyaknya aktifitas yang diselenggarakan sub-sistem Madrasah Diniyah, maka dapat dikatakan ciri-ciri ekstrakurikuler Madrasah Diniyah adalah sebagai berikut:
1. Madrasah Diniyah merupakan pelengkap dari pendidikan formal.
2. Madrasah Diniyah merupakan spesifikasi sesuai dengan kebutuhan dan tidak memerlukan syarat yang ketat serta dapat diselenggarakan dimana saja.
3. Madrasah Diniyah tidak dibagi atas jenjang atau kelas-kelas secara ketat.
4. Madrasah Diniyah dalam materinya bersifat praktis dan khusus.
5. Madrasah Diniyah waktunya relatif singkat, dan warga didiknya tidak harus sama.
6. Madrasah Diniyah mempunyai metode pengajaran yang bermacammacam.

2.3. Kurikulum yang digunakan Madrasah Diniyah
Berdasarkan Undang-undang Pendidikan dna Peraturan pemerintah no 73 tahun 1991 pada pasal 1 ayat 1 disebutkan “Penyelenggaraan pendidikan diluar sekolah boleh dilembagakan dan boleh tidak dilembagakan”. Dengan jenis “pendidikan Umum” (psl 3. ayat.1). sedangkan kurikulum dapat tertulis dan tertulis (pasl. 12 ayat 2). Bahwa Madrasah DIniyah adalah bagian terpadu dari system pendidikan nasional yang diselenggarakan pada jalur pendidikan luar sekolah untuk memenuhi hasrat masyarakat tentang pendidikan agama. Madarsah Diniyah termasuk kelompok pendidikan keagamaan jalur luar sekolah yang dilembagakan dan bertujuan untuk mempersiapkan peserta didik menguasai pengetahuan agama Islam, yang dibina oleh Menteri Agama (PP 73, Pasal 22 ayat 3). Oleh karena itu, maka Menteri Agama d/h Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam menetapkan Kurikulum Madrasah Diniyah dalam rangka membantu masyarakat mencapai tujuan pendidikan yang terarah, sistematis dan terstruktur. Meskipun demikian, masyarakat tetap memiliki keleluasaan unutk mengembangkan isi pendidikan, pendekatan dan muatan kurikulum sesuai dengan kebutuhan dan leingkungan madrasah.
Madrasah diniyah mempunyai tiga tingkatan yakni : Diniyah Awaliyah, Diniyah Wustha dan Diniyah Ulya. Madrasah DIniah Awaliyah berlangsung 4 tahun (4 tingkatan), dan Wustha 2 tahun (2 tingkatan). Input Siswa Madrasah Diniyah Awaliyah diasumsikan adalah siswa yang belakar pada sekolah Dasar dan SMP/SMU.
Sebagai bagian dari pendidikan luar sekolah, Madrasah Diniyah bertujuan :
1. Melayani warga belajar dapat tumbuh dan berkembangn sedini mungkin dan sepanjang hayatnya guna meningkatkan martabat dan mutu kehidupanya.
2. Membina warga belajar agar memiliki pengetahuan, keterampilan dan sikap mental yang diperluakan untuk mengembangkan diri, bekerja mencari nafkah atau melanjutkan ketingkat dan /atau jenjang yang lebih tinggi, dan
3. Memenuhi kebutuhan belajar masyarakat yang tidak dapat dipenuhi dalam jalur pendidikan sekolah (TP 73 Pasal.2 ayat 2 s.d 3).
Untuk menumbuh kembangkan ciri madrasah sebagai satuan pendidikan yang bernapaskan Islam, amka tujuan madrasah diniyah dilengkapi dengan “memberikan bekla kemampuan dasar dan keterampilan dibidang agama Islam untuk mengembangkan kehidupannya sebagai pribadi muslim, anggota masyarakat dan warga Negara”.
Dalam program pengajaran ada bebarapa bidang studi yang diajarkan seperti Qur’an Hadits, Aqidah Akhlak, Fiqih, Sejarah Kebudayaan Islam, Bahasa Arab, dan Praktek Ibadah.
Dalam pelajaran Qur’an-Hadits santri diarahkan kepada pemahaman dan penghayatan santri tentang isi yang terkandung dalam qur’an dan hadits. Mata pelajaran aqidah akhlak berfumgsi untuk memberikan pengetahuan dan bimbingan kepada santri agar meneladani kepribadian nabi Muhammad SAW, sebagai Rasul dan hamba Allah, meyakini dan menjadikan Rukun Iman sebagai pedoman berhubungan dengan Tuhannya, sesame manusia dengan alam sekitar, Mata pelajaran Fiqih diarahkan untuk mendorong, membimbing, mengembangkan dan membina santri untuk mengetahui memahami dan menghayati syariat Islam. Sejarah Kebudayaan Islam merupakan mata pelajaran yang diharapkan dapat memperkaya pengalaman santri dengan keteladanan dari Nabi Muhammad SAW dan sahabat dan tokoh Islam. Bahasa Arab sangat penting untuk penunjang pemahaman santri terhadap ajaran agama Islam, mengembangkan ilmu pengetahuan Islam dan hubungan antar bangsa degan pendekatan komunikatif. Dan praktek ibadah bertujuan melaksanakan ibadah dan syariat agama Islam.
Kurikulum Madrasah Diniyah pada dasarnya bersifat fleksibel dan akomodatif. Oleh karena itu, pengembangannya dapat dilakukan oleh Departemen Agama Pusat Kantor Wilayat/Depag Propinsi dan Kantor Departemen Agama Kabupaten/Kotamadya atau oleh pengelola kegiatan pendidikan sendiri. Prinsip pokok untuk mengembangkan tersebut ialah tidak menyalahi aturan perundang-undangan yang berlaku tentang pendidikan secara umum, peraturan pemerintah, keputusan Menteri Agama dan kebijakan lainnya yang berkaitan dengan penyelenggaraan madrasah diniyah.

2.4. Administrasi Madrasah Diniyah
Administrasi Madrasah Diniyah ialah segala usaha bersama untuk mendayagunkan sumber-sumber, baik personil maupun materil secara efektif dan efisien guna menunjang tercapainya tujuan pendidikan di Madrasah Diniyah secara optimal.
2.4.1. Prinsip Umum Administrasi Madrasah Diniyah
1. bersifat praktis, dapat dilaksanakan sesuai dengan kondisi dan situasi nyata di madrasah DIniyah.
2. Berfungsi sebagai sumber informasi bagi peningkatan pengelolaan pendidikan dan proses belajar mengajar.
3. Dilaksanakan dengan suatu system mekanisme kerja yang menunjang realisasi pelaksanaan kurikulum.
2.4.2. Ruang Lingkup
1. Secara makro administrasi pendidikan di Madrasah Diniyah mencakup :
a. kurikulum
b. Warga belajar
c. Ketenagaan
d. Keuangan
e. Saran/prasarana/gedung dan perlengkapan lainnya
f. Hubungan kerjasama dengan masyarakat
2. Dilihat dari Proses kegiatan pengelolaan dan perlengkapan, maka administrasi pendidikan mencakup :
a. Kegiatan merencakanan (planning)
b. Kegiatan mengorganisasikan (Organizing)
c. Kegiatan mengarahkan (Directing)
d. Kegiatan Mengkoordinasikan (Coordinating)
e. Kegiatan mengawasi (Controling), dan
f. Kegiatan evaluasi
2.4.3. Peranan Pimpinan
Dalam pelaksanaan administrasi termasuk administrasi pendidikn diperlukan seorang pimpinan yang berpandangan luas dan berkemampuan, baik dilihat dari segi pengetahuan, keterampilan maupun dari sikap.
Hal ini diperukan, karena pimpinan harus menciptakan dan melaksanakan hubungan yang baik antara :
1. Kepala madrasah dengan guru
2. Guru dengan guru
3. guru dengan penjaga madrasah
4. Kepala Madrasah, guru dan masyarakat
Dalam pengelolaan administrasi ada beberapa kegiatan yang dapat menunjang pelaksanaan kurikum diantaranya :
1. Kegiatan mengatur proses belajar mengajar
2. Kegiatan mengatur murid (warga belajar)
3. Kegiatan mengatur kepegawaian
4. Kegiatan mengatur gedung dna perlengkapan madrasah
5. Kegiatan mengatur keuangan
6. Kegiatan mengatur hubungan Madrasah dengan masyarakat.
7. Tugas serta tanggungjawab guru dan kepala madrasah
8. Mengembangkan dan menyempurnakan sejumlah instrument administrasi madrasah diniyah.

BAB III
KESIMPULAN

Madrasah diniyah adalah salah satu lembaga pendidikan non formal yang memiliki peranan penting dalam pengembangan pembelajaran agama Islam. Dalam madrasah diniyah yang merupakan lembaga yang memiliki paying hokum yang legal tentunya kurikulum sudah diset oleh pemerintah yang tentu tidak secara baku. Dalam artian pelaksana pendidikan bisa mengekplorasi pembelajaran yang bersipat penyesuaian dengan lingkungannya. Penyesuaian kurikulum itu akan dilakukan pada madrasah diniyah di semua tingkatan: ula (awal), wusto (menangah), hingga ala (atas).
Dalam keadministrasian meliputi beberapa urusan diantaranya: urusan administrasi, urusab Kurikuler, Urusan kewargaan belajar, urusan saran dan prasrana, dan urusan Humas
Dalam hal keorganisasiannya meliputi Kepala Madrasah Diniyah, Wali Kelas, Guru Pembimbing, BP3, guru mata pelajaran, tenaga kependidikanlainnya.
Untuk menjadi Madrasah Diniyah yang ideal maka yang sangat diperlukan adalah memperhatikan keadministrasian yang mapan, kurikulum yang sudah dibakukan oleh pemerintah yang ditambahkan dengan ektrakulikuler yang disesuaikan dengan lingkungan belajar.


DAFTAR PUSTAKA

Departemen Agama, Kurikulum Madrasah Diniyah Awaliyah, Direktorat Jendral Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, 1997.
Departemen Agama, Sejarah Perkembangan Madarsah, Direktorat Jendral Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, 1998.
Departemen Agama, Petunjuk Pelaksanaan Administrasi Pendidikan, Direktorat Jendral Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, 1996.

http://wasiat-jakarta.blogspot.com/2008/10/mengembangkan-pendidikan-diniyah-di.html
http://karya-ilmiah.um.ac.id/index.php/sastra-arab/article/view/410
http://72.14.235.132/search?q=cache:c1nhfTMWXmcJ:bangkatengahkab.go.id/download.inc.php%3F_tipe%3Ddownload%26id_download%3D25+%22pendidikan+madrasah+diniyah%22&cd=12&hl=id&ct=clnk&gl=id

http://pendis.depag.go.id/index.php?a=detilberita&id=3301

makalah filsafat umum

BAB I
PENDAHULUAN

A. Tujuan Penulisan
1. Mengetahui lebih jauh tentang aliran-aliran filsafat pendidikan
2. Mengambil sikap positif dari setiap pandangan dari tiap aliran

B. Metode Penulisan
Untuk terwujudnya tujuan tertentu maka diperlukan metode yang digunakan. Begitupun dengan penyusunan makalah ini, maka kami menggunakan studi pustaka sebagaimetode yangkami gunakan

C. Sistematika Penulisan
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN
A. Tujuan Penulisan
B. Metode Penulisan
C. Sisematika Penulisan
BAB II PEMBAHASAN
A. Aliran Filsafat Progresivisme
B. Aliran Esensialisme
C. Aliran Perennialisme
D. Aliran Rekonstruksionalisme
BAB III PENUTUP
A. Simpulan
B. Saran

BAB II
PEMBAHASAN

A. Aliran Filsafat Progresivisme
Filsafat Pendidikan Progresivisme bukan merupakan bangunan filsafat atau aliran filsafat yang berdiri sendiri, melainkan merupakan suatu gerakan dan perkumpulan yang didirikan pada tahun 1918 di Amerika.
Gerakan Progresif terkenal luas karena reaksinya terhadap formalisme dan sekolah tradisional yang membosankan, yang menekankan disiplin keras, belajar pasif, dan banyak hal kecil yang tidak bermanfaat dalam pendidikan. Lebih jauh gerakan ini dikenal karena imbauannya kepada guru-guru : “Kami mengharapkan perubahan, serta kemajuan yang lebih cepat setelah perang dunia pertama”. Banyak guru yang mendukungnya, sebab gerakan pendidikan progresivisme merupakan semacam kendaraan mutahir untuk digelarkan.
Aliran progesivisme telah memberikan sumbangan yang besar di dunia pendidikan saat ini. Aliran ini telah meletakkan dasar-dasar kemerdekaan dan kebebasan kepada anak didik. Anak didik diberikan kebaikan baik secara fisik maupun cara berpikir, guna mengembangkan bakat dan kemampuan yang terpendam dalam dirinya tanpa terhambat oleh rintangan yang dibuat oleh orang lain (Ali, 1990: 146). Oleh karena itu, filsafat progesivisme tidak menyetujui pendidikan yang otoriter

A.1. Pendapat Aliran Filsafat Progresivisme
Aliran ini berpendapat bahwa pengetahuan yang benar pada masa kini mungkin tidak benar di masa mendatang. Pendidikan harus terpusat pada anak bukannya memfokuskan pada guru atau bidang muatan. Tidak ada teori realita yang umum. Pengalaman menurut progresivisme bersifat dinamis dan temporal; menyala. tidak pernah sampai pada yang paling ekstrem, serta pluralistis. Menurut progresivisme, nilai berkembang terus karena adanya pengalaman-pengalaman baru antara individu dengan nilai yang telah disimpan dalam kebudayaan. Belajar berfungsi untuk :mempertinggi taraf kehidupan sosial yang sangat kompleks. Kurikulum yang baik adalah kurikulum yang eksperimental, yaitu kurikulum yang setiap waktu dapat disesuaikan dengan kebutuhan
Aliran progresivisme mengakui dan berusaha mengembangkan asas progesivisme dalam sebuah realita kehidupan, agar manusia bisa survive menghadapi semua tantangan hidup. Dinamakan instrumentalisme, karena aliran ini beranggapan bahwa kemampuan intelegensi manusia sebagai alat untuk hidup, untuk kesejahteraan dan untuk mengembangkan kepribadiaan manusia. Dinamakan eksperimentalisme, karena aliran ini menyadari dan mempraktikkan asas eksperimen untuk menguji kebenaran suatu teori. Dan dinamakan environmentalisme, Karena aliran ini menganggap lingkungan hidup itu memengaruhi pembinaan kepribadiaan (Muhammad Noor Syam, 1987: 228-229)


A.2. Tokoh-Tokoh Aliran Filsafat Progresivisme
Adapun tokoh-tokoh aliran progresivisme ini, antara lain, adalah :
a. William James
b. John Dewey
c. Hans Vaihinger
d. Ferdinant Schiller
e. Georges Santayana
f. George Axtelle
g. william O. Stanley
h. Ernest Bayley
i. Lawrence B.Thomas
j. Frederick C. Neff

A.3. Pandangan Filsafat Progresivisme
John Dewey memandang bahwa pendidikan sebagai proses dan sosialisasi (Suwarno, 1992: 62-63). Maksudnya sebagai proses pertumbuhan anak didik dapat mengambil kejadian-kejadian dari pengalaman lingkungan sekitarnya. Maka dari itu, dinding pemisah antara sekolah dan masyarakat perlu dihapuskan, sebab belajar yang baik tidak cukup di sekolah saja. Progresivisme pengikut Dewey berasumsi bahwa :
a. Muatan kurikulum harus diperoleh dari minat-minat siswa bukannya dari disiplin-disiplin akademik
b. Pengajaran diakatakan epektif jika mempertimbangkan anak secara menyeluruh.
c. Pembelajaran pada pokoknya aktif bukannya pasif. Pengajar yang epektif memberi siswa pengalamanpengalaman yang memingkinkan mereka belajar dengan melakukan kegiatan.
d. Tujuan daripada pendidikan adalah mengajar para siswa berfikir secara rsional sehingga mereka menjadi cerdas yang memberi kontribusi kepada masyarakat.
e. Di sekolah, siswa mempelajari nilai-nilai personal dan juga nilai-nilai sosial.
f. Umat manusia ada dalam suatu kedaan yang berubah secara konstan, dan pendidikan memungkinkan masa depan yang lebih baik.
Dengan demikian, sekolah yang ideal adalah sekolah yang isi pendidikannya berintegrasi dengan lingkungan sekitar. Karena sekolah adalah bagian dari masyarakat. Dan untuk itu, sekolah harus dapat mengupyakan pelestarian karakteristik atau kekhasan lingkungan sekolah sekitar atau daerah di mana sekolah itu berada. Untuk dapat melestarikan usaha ini, sekolah harus menyajikan program pendidikan yang dapat memberikan wawasan kepada anak didik tentang apa yang menjadi karakteristik atau kekhususan daerah itu. Untuk itulah, fisafat progesivisme menghendaki sis pendidikan dengan bentuk belajar “sekolah sambil berbuat” atau learning by doing (Zuhairini, 1991: 24).
Dengan kata lain akal dan kecerdasan anak didik harus dikembangkan dengan baik. Perlu diketahui pula bahwa sekolah tidak hanya berfungsi sebagai pemindahan pengetahuan (transfer of knowledge), melainkan juga berfungsi sebagai pemindahan nilai-nilai (transfer of value), sehingga anak menjadi terampildan berintelektual baik secara fisik maupun psikis. Untuk itulah sekat antara sekolah dengan masyarakat harus dihilangkan.


A.4. Prinsip-Prinsip Pendidikan
Secara umum terdapat beberapa prinsip pendidikan menrut pandangan progreivisme, yaitu :
a) Pendidikan adalah hidup itu sendiri, bukan persiapan untuk hidup. Kehidupan yang baik adalah kehidupan yang intelegen, yaitu kehidupan yang mencakup interpretasi dan rekonstruksi pengalaman.
b) Pendidikan harus berhubungan langsung dengan minat anak yang dijadikan sebagai motivasi dalam belajar.Sekolah menjadi “child centred” dimana proses belajar berpusat pada anak.
c) Belajar melalui pemecahan masalah akan menjadi presenden terhadap pemberian subjeck matter. Jadi, belajar harus dapat memcahkan masalah.
d) Peran guru tidak langsung melainkan memberi petunjuk kepada siswa.Kebutuhan dan minat anak akan menentukan apa yang mereka pelajari.
e) Sekolah harus memberi semangat kerjasama, bukan mengembangkan persaingan.
f) Kondisi yang demokratis merupakan kondisi yang diperlukan dalam kehidupan.
Kneller (1971)

B. Aliran Esensialisme
Filsafat Pendidikan esensialisme Esensialisme adalah suatu filsafat pendidikan konservatif yang pada mulanya dirumuskan sebagai suatu kritik pada trend-trend progresif di sekolah-sekolah. Mereka berpendapat bahwa pergerakan progresif telah merusak standar-standar intelektual dan moral di antara kaum muda. Beberapa tokoh dalam aliran ini: william C. Bagley, Thomas Briggs, Frederick Breed dan Isac L. Kandell.
Aliran esensialisme merupakan aliran pendidikan yang didasarkan pada nilai-nilai kebudayaan yang telah ada sejak awal peradaban umat manusia. Esensialisme muncul pada zaman Renaisance dengan cirri-cirinya yang berbeda dengan progesivisme. Dasar pijakan aliran ini lebih fleksibel dan terbuka untuk perubahan, toleran, dan tidak ada keterkaitan dengan doktrin tertentu. Esensiliasme memandang bahwa pendidikan harus berpijak pada nilai-nilai yang memiliki kejelasan dan tahan lama, yang meberikan kestabilan dan nilai-nilai terpilih yang mempunyai tata yang jelas (Zuhairini, 1991: 21).

B.1. Esensialisme dan Idealisme
Esensialisme berpendapat bahwa dunia ini dikuasai oleh tata yang tiada cela yang mengatur dunia beserta isinya dengan tiada cela pula. Esensialisme didukung oleh idealisme modern yang mempunyai pandangan yang sistematis mengenai alam semesta tempat manusia berada.
Esensialisme juga didukung oleh idealisme subjektif yang berpendapat hahwa alam semesta itu pada hakikatnya adalah jiwa/spirit dan segala sesuatu yang ada ini nyata ada dalam arti spiritual. Realisme berpendapat bahwa kualitas nilai tergantung pada apa dan bagaimana keadaannya, apabila dihayati oleh subjek tertentu, dan selanjutnya tergantung pula pada subjek tersebut.
Menurut idealisme, nilai akan menjadi kenyataan (ada) atau disadari oleh setiap orang apabila orang yang bersangkutan berusaha untuk mengetahui atau menyesuaikan diri dengan sesuatu yang menunjukkan nilai kepadanya dan orang itu mempunyai pengalaman emosional yang berupa pemahaman dan perasaan senang tak senang mengenai nilai tersehut. Menunut realisme, pengetahuan terbentuk berkat bersatunya stimulus dan tanggapan tententu menjadi satu kesatuan. Sedangkan menurut idealisme, pengetahuan timbul karena adanya hubungan antara dunia kecil dengan dunia besar. Esensialisme berpendapat bahwa pendidikan haruslah bertumpu pada nilai- nilai yang telah teruji keteguhan-ketangguhan, dan kekuatannya sepanjang masa.
Idealisme, sebagai filsafat hidup, memulai tinjauannya mengenai pribadi individu dengan menitikberatkan pada aku. Menurut idealisme, pada tarap permulaan seseorang belajar memahami akunya sendiri, kemudian ke luar untuk memahami dunia objektif. Dari mikrokosmos menuju ke makrokosmos. Menurut Immanuel Kant, segala pengetahuan yang dicapai manusia melalui indera memerlukan unsure apriori, yang tidak didahului oleh pengalaman lebih dahulu.
Bila orang berhadapan dengan benda-benda, bukan berarti semua itu sudah mempunayi bentuk, ruang, dan ikatan waktu. Bentuk, ruang , dan waktu sudah ada pada budi manusia sebelum ada pengalaman atu pengamatan. Jadi, apriori yang terarah buikanlah budi pada benda, tetapi benda-benda itu yang terarah pada budi. Budi membentuk dan mengatur dalam ruang dan waktu. Dengan mengambil landasan pikir tersebut, belajar dapat didefinisikan sebagai substansi spiritual yang membina dan menciptakan diri sendiri (Poedjawijatna, 1983: 120-121).
Roose L. finney, seorang ahli sosiologi dan filosof , menerangkan tentang hakikat social dari hidup mental. Dikatakan bahwa mental adalah keadaan ruhani yang pasif, hal ini berarti bahwa manusia pada umumnya menerima apa saja yang telah ditentukan dan diatur oleh alam social. Jadi, belajar adalah menerima dan mengenal secara sungguh-sungguh nilai-nilai social angkatan baru yang timbul untuk ditambah, dikurangi dan diteruskan pada angkatan berikutnya.

B.2. Tujuan Pendidikan
Tujuan pendidikan adalah untuk meneruskan warisan budaya dan warisan sejarah melalui pengetahuan inti yang terakumulasi dan telah bertahan dalam kurun waktu yang lama, serta merupakan suatu kehidupan yang telah teruji oleh waktudan dikenal oleh semua orang. Pengetahuan tersebut bersama dengan skill, sikap, dan nilai-nilai yang memadai akan mewujudkan elemen-elemen pendidikan yang esensial. Tugas siswa adalah menginternalisasikan atau menjadikan milik pribadi elemen-elemen tersebut.
Selain merupakan warisan budaya, tujuan pendidikan esensialisme adalah “mempersiapkan manusia untuk hidup”. Namun, hidup tersebut sangat kompleks dan luas, sehingga kebutuhan-kebutuhan untuk hidup tersebut di uar kewenangan sekolah. Hal ini tidak berarti bahwa sekolah tidak dapat memberikan kontribusi untuk mempersiapkan hidup tersebut. Kontribusi sekolah bagaiman terutama bagaimana merancang sasaran mata pelajaran sedemikian rupa, terutama tujuan pelajaran yang dapat dipertanggungjawabkan yang pada akhirnya memadai untuk mempersiapkan kebutuhan manusia.

B.3. Konsep Pendidikan Gerakan Back To Basic
Gerakan back to basic yang dimulai di pertengahan tahun 1970-an adalah dorongan skala besar yang mutakhir untuk menerapkan program-progra esensialis di sekolah-sekolah. Yang terpenting lainnya yang dikemukakan kaum esensialis, bahwa sekolah-sekolah harus melatih siswa untuk berkomunikasi dengan jelas dan logis. Keterampilan-keterampilan inti dalam kurikulum haruslah berupa membaca, menulis, berbicara, dan berhitung serta sekolah memiliiki tanggungjawab untuk memperhatikan apakah semua siswa menguasai keterampilan-keterampilan tersebut.
Ahli pendidikan esensialis tidak memandang anak sebagai orang yang jahat dan tidak pula memandang anak sebagai orang yang secara alamiah baik. Anak-anak tersebut tidak akan menjadi anggota masyarakat yang berguna kecuali kalau anak secara aktif dan penuh semangat diajarkan nilai disiplin, kerja kera, dan rasa hormat. Kemudian peran guru adalah membentuk para siswa menangani insting-insting alamiah dan nonproduktif mereka di bawah pengawasan sampai pendidikaj mereka selasai.

B.4. Kurikulum
Kurikulum esensialis menekankan pengajaran fakta-fakta, yaitu kurikulum yang berpusat pada mata pelajaran (subject matter centered). Di sekolah dasar penekanannya pada kemampuan dasar membaca, menulis, dan matematika.

B.5. Peranan Sekolah dan Guru
Peranan sekolah adalah memlihara dan menyampaikan warisan budaya dan sejarah pada generasi pelajar dewasa ini, melalui hikmat dan pengalaman terakumulasi dari disiplin tradisional.
Selanjutnya mengenai peranan guru adalah, guru dianggap sebagai seseorang yang menguasai lapangan subjek husus dan merupakan model contoh yang sangat baik untuk digugu dan ditiru. Guru merupakan orang yang menguasai pengetahuan dan kelas berada di bawah pengaruh pengawasan guru.

B.6. Prinsip-Prinsip Pendidikan
Prinsip-prinsip dasar esensialisme dapat kita kemukakan sebagai berikut :
a) Pendidikan harus dilakukan melalui usaha keras, tidak begitu saja timbul dari dalam diri siswa.
b) Inisiatif dalam pendidikan ditekankan pada guru bukan pada siswa. Peranan guru adalah menjembatani antara dunia orang dewasa dengan dunia anak. Guru disiapkan secara husus untuk melakukan tugas di atas, sehingga guru lebih berhak untuk membimbing siswa-siswinya. Kneller (1971:59)
c) Sekolah harus mempertahankan metode-metode tradisional yang bertautan dengan disiplin mental. Esensialisme mengakui bahwa metode pemecahan masalah ada faedahnya, namun bukan suatu prosedur yang harus dilakukan dalam setiap proses belajar.
d) Tujuan akhir pendidikan adalah untuk meningkatkan kesejahteraan umum merupakan tuntutan demokrasi yang nyata.

C. Aliran Perennialisme
Perenialisme memandang pendidikan sebagai jalan kembali atau proses mengembalikan keadaan sekarang. Perenialisme memberikan sumbangan yang berpengaruh baik teori maupun praktik bagi kebudayaan dan pendidikan zaman sekarang (Muhammad Noor Syam, 1986: 154). Dari pendapat ini diketahui bahwa perenialisme merupakan hasil pemikiran yang memberikan kemungkinan bagi sseorang untukk bersikap tegas dan lurus. Karena itulah, perenialisme berpendapat bahwa mencari dan menemukan arah arsah tujuan yang jelas merupakan tugas yang utama dari filsafat, khususnya filsafat pendidikan.
Menurut perenialisme, ilmu pengetahuan merupakan filsafat yang tertinggi, karena dengan ilmu pengetahuanlah seseorang dapat berpikir secara induktif. Jadi, dengan berpikir maka kebenaran itu akan dapat dihasilkan. Penguasaan pengetahuan mengenai prinsip-prinsip pertama adalah modal bagi seseorang untuk mengembangkan pikiran dan kecerdasan. Dengan pengetahuan, bahan penerangan yang cukup, orang akan mampu mengenal dan memahami factor-faktor dan problema yang perlu diselesaikan dan berusaha mengadakan penyelesaian masalahnya.

C.1. Tujuan Pendidikan
Diharapkan anak didik mampu mengenal dan mengembangkan karya-karya yang menjadi landasan pengembangan disiplin mental. Karya-karya ini merupakan buah pikiran besar pada masa lampau. Berbagai buah pikiran mereka yang oleh zaman telah dicatat menonjol seperti bahasa, sastra, sejarah, filsafat, politik, ekonomi, matematika, ilmu pengetahuan alam, dan lain-lainnya, yang telah banyak memberikan sumbangan kepadaperkembangan zaman dulu.
Tugas utama pendidiakn adalah mempersiapkan anak didik kearah kematangan. Matang dalam arti hidup akalnya. Jadi, akal inilah yang perlu mendapat tuntunan kearah kematangan tersebut. Sekolah rendah memberikan pendidikan dan pengetahuan serba dasar. Dengan pengetahuan yang tradisional seperti membaca, menulis, dan berhitung, anak didik memperoleh dasar penting bagi pengetahuan-pengetahuan yang lain.

C.2. Peranan Sekolah dan Guru
Sekolah, sebagai tempat utama dalam pendidikan, mempersiapkan anak didik ke arah kematangan akal dengan memberikan pengetahuan. Sedangkan tugas utama guru adalah memberikan pendidikan dan pengajaran (pengetahuan) kepada anak didik. Dengan kata lain, keberhasilan anak dalam bidang akalnya sangat tergantung kepada guru, dalam arti orang yang telah mendidik dan mengajarkan.


D. Aliran Rekonstruksionisme
. Filsafat Pendidikan rekonstruksionisme merupakan kelanjutan dari gerakan progresivisme. Gerakan ini lahir didasarkan atas suatu anggapan bahwa kaum progresif hanya memikirkan dan melibatkan diri dengan masalah-masalah masyarakat yang ada sekarang. Rekonstruksionisme dipelopori oleh George Count dan Harold Rugg pada tahun 1930, ingin membangun masyarakat baru, masyarakat yang pantas dan adil. Beberapa tokoh dalam aliran ini:Caroline Pratt, George Count, Harold Rugg.
Kata Rekonstruksionisme bersal dari bahasa Inggris reconstruct, yang berarti menyusun kembali. Dalam konteks filsafat pendidikan, rekonstruksionisme merupakan suatu aliran yang berusaha merombak tata susunan hidup kebudayaan yang bercorak modern. Aliran rekonstruksionisme pada prinsipnya sepaham dengan aliran perenialisme, yaitu berawal dari krisis kebudayaan modern. Menurut Muhammad Noor Syam (1985: 340), kedua aliran tersebut memandang bahwa keadaan sekarang merupakan zaman yang mempumyai kebudayaan yang terganggu oleh kehancuran, kebingungan, dan kesimpangsiuran.
Aliran rekonstruksionisme berkeyakinan bahwa tugas penyelamatan dunia merupakan tugas semua umat manusia. Karenanya, pembinaan kembali daya intelektual dan spiritual yang sehat melalui pendidikan yang tepat akan membina kembali manusia dengan nilai dan norma yang benar pula demi generasi yang akan datang, sehingga terbentuk dunia baru dalam pengawasan umat manusia.
Di samping itu, aliran ini memiliki persepsi bahwa masa depan suatu bangsa merupakan suatu dunia yang diatur dan diperintah oleh rakyat secara demokratis, bukan dunia yang dikuasai oleh golongan tertentu. Cita-cita demokrasi yang sesungguhnya tidak hanya teori, tetapi mesti diwujudkan menjadi kenyataan, sehingga mampu meningkatkan kualitas kesehatan, kesejahteraan dan kemakmuran serta keamanan masyarakat tanpa membedakan warna kulit,, keturunan, nasionalisme, agama (kepercayaan) dan masyarakat bersangkutan.

D.1. Teori Pendidikan
Teori pendidikan rekonstruksionalisme yang dikemukakan oleh Brameld (Kneller, 1971) terdiri atas lima tesis, yaitu :
a) Pendidikan harus dilaksanakan disini dan sekarang dalm rangka mencitakan tata sosial baru yang akan mengisi nilai-nilai dasar budaya kita, dan selaras dengan yang mndasari kekuatan-kekuatan eknomi sosial masyarakat modern.Sekarang peradaban menghadapi kemungkinan penghancuran diri. Pendidikan harus mensponsori perubahan yang benar dalam nurani manusia. Oleh karena itu, kekuatan teknologi yang sangat hebat harus dimanfaatkan untuk membangun manusia bukan untuk menghancurkannya.
b) Masyarakat baru harus berada dalam kehidupan demokrasi sejati, dimana sumber dan lembaga utama dalam masyarakat dikontrol oleh warganya sendiri.
c) Anak, sekolah, dan pendidikan itu sendiri dikondisikan oleh kekuatan budaya sosial. Menurut Brameld, kaum progresif terlalu sangat menekankanbhwa kita semua dikondisikan secara sosial. Perhatian kaum progresif hanya untuk mecari cara dimana individu dapat merealisasiakn dirinya dalam masyarakat. Menurut rekonstruksionalisme, hidup beradab adalh hidup berkeompok, sehingga kelompok akan memainkan peran yang penting di sekolah. Pendidikan merupakan realisasi dari sosial (social self realization). Melalui pendidikan individu tidak hanya mengembangkan aspek-aspek sifat sosialnya melainkan juga belajar bagaimana keterlibatannya dalam perencanaan sosial.
d) Guru harus meyakini terhadap validitas dan urgensi dirinya dengan cara bijaksana dengan memperhatikan prosedur yang demokratis.
e) Cara dan tujuan pendidikan harus diubah kembali seluruhnya dengan tujuan untuk menemukan kebutuhan-kebutuhan yang berkaitan dengan krisis budaya dewasa ini, dan untuk menyesuaikan dengan kebutuhan sosial.
f) Kita Harus meninjau kembali penyusunan kurikulum, isi pelajaran, metode yang dipakai, struktur administrasi, dan cara bagaimana guru dilatih.
Power (1982) menggunakan istilah neoprogresivisme untuk aliran rekontruksionalisme, dan mengemukakan implikasi pendidikannya sebagai berikut :
1) Tema
Pendidikan merupakan usaha sosial. Misi sekolah adalah meningkatkan rekonstruksi sosial
2) Tujuan pendidikan
Pendidikan bertanggungjawab dalam menciptakan aturan sosial yang ideal. Transmisi budaya adalah esensial dalam masyarakat yang majemuk.Transmisi budaya harus mengenal fakta budaya yang majemuk tersebut.
3) Kurikulum
Kurikulum sekolah tidak boleh didominasi oleh budaya yang ditentukan atau disuaki. Semua budaya dan nilai-nilai yang berhubungan berhak untuk mendapatkan tempat dalam kurikulum.



4) Kedudukan siswa
Nilai-niali budaya yang dibawa ke sekolah merupakan hal yang berharga,. Keluhuran pribadi dan tanggungjawab sosial ditingkatkan, manakala rasa hormat diterima semua latar belakang budaya.
5) Peranan guru
Guru harus enunjukan rasa hormat yang sejati terhadap seua budaya, baik dalam memberi pelajaran maupun dalam hal lainnya.


BAB III
PENUTUP

A. Simpulan
Aliran Filsafat Progresivisme
Filsafat Pendidikan Progresivisme bukan merupakan bangunan filsafat atau aliran filsafat yang berdiri sendiri, melainkan merupakan suatu gerakan dan perkumpulan yang didirikan pada tahun 1918 di Amerika.
Aliran Esensialisme
Filsafat Pendidikan esensialisme Esensialisme adalah suatu filsafat pendidikan konservatif yang pada mulanya dirumuskan sebagai suatu kritik pada trend-trend progresif di sekolah-sekolah. Mereka berpendapat bahwa pergerakan progresif telah merusak standar-standar intelektual dan moral di antara kaum muda. Beberapa tokoh dalam aliran ini: william C. Bagley, Thomas Briggs, Frederick Breed dan Isac L. Kandell
Aliran Perennialisme
Perenialisme memandang pendidikan sebagai jalan kembali atau proses mengembalikan keadaan sekarang. Perenialisme memberikan sumbangan yang berpengaruh baik teori maupun praktik bagi kebudayaan dan pendidikan zaman sekarang (Muhammad Noor Syam, 1986: 154). Dari pendapat ini diketahui bahwa perenialisme merupakan hasil pemikiran yang memberikan kemungkinan bagi sseorang untukk bersikap tegas dan lurus. Karena itulah, perenialisme berpendapat bahwa mencari dan menemukan arah arsah tujuan yang jelas merupakan tugas yang utama dari filsafat, khususnya filsafat pendidikan
Aliran Rekonstruksionisme
Filsafat Pendidikan rekonstruksionisme merupakan kelanjutan dari gerakan progresivisme. Gerakan ini lahir didasarkan atas suatu anggapan bahwa kaum progresif hanya memikirkan dan melibatkan diri dengan masalah-masalah masyarakat yang ada sekarang. Rekonstruksionisme dipelopori oleh George Count dan Harold Rugg pada tahun 1930, ingin membangun masyarakat baru, masyarakat yang pantas dan adil. Beberapa tokoh dalam aliran ini:Caroline Pratt, George Count, Harold Rugg.
B. Saran
Kami menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Maka dari itu kami mengaharap saran yang bersifat membangun guna perbaikan di masa mendatang.



DAFTAR PUSTAKA

http://education.feedfury.com/content/16333546-filsafat_pendidikan.html
Foto coffee Filsafat Pendidikan

KATA PENGANTAR


Puji serta syukur kita panjatkan kehadirat Allah swt. yang telah memberikan hidayahnya kepada kita semua, semoaga cahaya iman senantiasa ada dalam diri kita. Amin. Shalawat dan salam kita haturkan kepada baginda agung Rasulullah Muahammad saw. sang pembawa risalah yang haq yang akan membawa kita kepada jalan yang benar meuju kesejahteraan dunia dan akhirat.
Setelah kami berusaha dengan semampunya Alhamdulillah kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini dengan judul Filsafat Progresivisme, Essensialisme, Perrenialisme, dan Rekonstruksionalisme dalam rangka memenuhi tugas mata kuliah Filsafat Pendidikan..
Namun kami menyadari sebagai manusia yang tak luput dari kekurangan sudah pasti dalam penyusunannya masih jauh dari apa yang diharapkan. Maka dari itu kami mengharapkan kritik dan saran dari para pembaca guna perbaikan di masa mendatang.
Akhirnya kami haturkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu kami dalam penyusunan makalah ini, terutama kepada dosen mata kuliah Psikologi Pendidikan yang telah mencurahkan ilmu kepada kami. Semoga Allah jualah yang membalas budi baik semuanya. Amin…..


Cijulang, Mei 2009


Penyusun

DAFTAR ISI


KATA PENGANTAR i
DAFTAR ISI ii

BAB I PENDAHULUAN
A. Tujuan Penulisan 1
B. Metode Penulisan 1
C. Sisematika Penulisan 1
BAB II PEMBAHASAN
A. Aliran Filsafat Progresivisme 2
B. Aliran Esensialisme 5
C. Aliran Perennialisme 9
D. Aliran Rekonstruksionalisme 10
BAB III PENUTUP
A. Simpulan 14
B. Saran 15
DAFTAR PUSTAKA 16

Minggu, 10 Januari 2010

Proposal penelitian Kemalasan Siswa

UPAYA GURU DALAM MENANGANI KEMALASAN SISWA PADA MATA PELAJARAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
( Penelitian di Kelas VI SDN IV Kertaharja Kecamatan Cimerak Kab. Ciamis )

A. Latar Belakang Masalah
Pendidikan Agama Islam sangatlah penting untuk diterapkan pada jiwa anak didik. Karena, siswa tidak hanya memahami pelajaran PAI tetapi mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari. Yang terlihat dalam sebuah prilaku siswa.
Guru yang profesional akan mengembangkan unsur-unsur tersebut. Sehingga siswa akan merasakan keterlibatannya dalam mengaplikasikan pembelajaran PAI dalam kehidupan sehari-harinya. Namun ada saatnya siswa mengalami kejenuhan atau kebosanan yang pada akhirnya siswa merasa malas untuk mengikuti kegiatan pembelajaran Pendidikan Agama Islam.
Kemalasan akan berakibat patal adalam pembelajaran. Maka tugas guru adalah membunuh sifat malas tersebut dari diri siswa itu sendiri. Sehingga timbul kembali rasa semangat dan motivasi tinggi untuk menggali ilmu-ilmu agama Islam dalam pembelajaran Pendidikan Agama Islam.
Bertitik tolak dari permasalahan tersebut di atas, penulis sangat tertarik untuk meneliti lebih lanjut dan lebih komperhensip, dengan mencoba membahasnya dalam sebuah penelitian dengan judul “UPAYA GURU DALAM MENANGANI KEMALASAN SISWA PADA MATA PELAJARAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM ( Penelitian di Kelas VI SDN IV Kertaharja Kecamatan Cimerak Kab. Ciamis)”

B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang penelitian diatas, maka penelitian ini akan memfokuskan pada permasalahan upaya guru dalam menangani kemalasan siswa dalam mata pelajaran Pendidikan Agama Islam. Berkaitan dengan itu, penelitian ini akan mejawab pertanyaan sebagai berikut :
1. Bagaimankah Peranan Mata Pelajaran Pendidikan Agama Islam terhadap kebiasaan siswa kelas VI di SDN IV Kertaharja ?
2. Bagaimanakah menumbuhkan motivasi belajar dalam Pendidikan Agama Islam siswa kelas VI di SDN IV Kertaharja ?
3. Metode apa yang digunakan dalam pembelajaran Pendidikan Agama Islam terhadap siswa kelas VI di SDN IV Kertaharja ?
4. Upaya-upaya apa yang dilakukan guru terhadap kemalasan siswa?

C. Tujuan Penelitian
Ada beberapa hal yang menjadi dasar tujuan dari penelitian ini yaitu seberapa jauh upaya guru dalam menangani kemalasan siswa dalam mata pelajaran Pendidikan Agama Islam. Tujuan selengkapnya dari penelitian ini adalah untuk mengetahui :
1. Pengembangan kurikulum Mata Pelajaran Pendidikan Agama Islam di kelas VI SDN IV Kertaharja Kecamatan Cimerak Kabupaten Ciamis.
2. Penerapan metode-metode pembelajaran Mata Pelajaran Pendidikan Agama Islam di kelas VI SDN IV Kertaharja Kecamatan Cimerak Kabupaten Ciamis.
3. Timbulnya kemalasan dalam Mata Pelajaran Pendidikan Agama Islam di kelas VI SDN IV Kertaharja Kecamatan Cimerak Kabupaten Ciamis.

D. Kegunaan Penelitian
Hasil Penelitian ini diharapkan mempunyai kegunaan sebagai pengembangan ilmu pendidikan Islam serta guna laksana. Setelahnya melakukan penelitian diharapkan memiliki manfaat atau guna baik masyarakat pesantren Kalangsari, penyusun, ataupun bagi masyarakat secara umum. Penelitian ini sangatlah penting sekali dilakukan sebagai media untuk memahami dan mengevaluasi keadaan pembelajaran di Pondok Pesantren Kalangsari .
Adapun manfaat teoritis dan praktis dari penelitian ini diharapkan untuk :
1. Memberikan referensi bagi SDN IV Kertaharja Kecamatan Cimerak Kabupaten Ciamis dalam mengelola kelas.
2. Membantu guru dalam memecahkan masalah dalam hal kemasalan siswa dalam mata pelajaran Pendidikan Agama Islam.
3. Memperluas pengetahun peneliti dalam masalah yang menimbulkan kemalasan dalam diri siswa.
4. Mengetahui upaya-upaya guru untuk menghilangkan kemalasan siswa.
5. Memberi insfirasi dan sebagai referensi untuk penelitian-penelitian berikutnya yang relevan.
E. Tinjauan Pustaka
Pada bagian ini peneliti akan mengemukakan teori-teori, asumsi-asumsi maupun generalisasi yang diambil dari berbagai literature terkait.
1. Upaya
Upaya dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah usaha; akal; ikhtiar (untuk mencapai suatu maksud, memecahkan persoalan, mencari jalan keluar). Sebuah permasalahan haruslah diselesaikan dengan adanya beberapa upaya. Kehadiran upaya ini akan menimbulkan beberapa pemecahan permasalahan yang kita hadapi. Dst ……………
2. Guru
Guru adalah orang yang pekerjaanya (mata pencariannya, profesinya) mengajar (Kamus Besar Bahasa Indonesia:330). Dalam proses belajar mengajar, guru mempunyai tugas untuk mendorong, membimbing, dam memberikan fasilitas belajar bagi murid-murid untuk mencapai tujuan. Guru mempunyai tanggung jawab untuk melihat segala sesuatu yang terjadi dalam kelas untuk membantu proses perkembangan anak. Dst ……………
3. Kemalasan Siswa
Malas dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia memiliki arti tidak mau bekerja atau mengerjakan sesuatu dan kemalasan memiliki arti perihal malas; sifat (keadaan) malas. Kemalasan dalam belajar berarti siswa tidak mau mengikuti pembelajaran. Kemalasan ini ditimbulkan dari beberapa aspek diantaranya Guru atau pengajar, siswa itu sendiri, lingkungan bermain ataupun masalah keluarga.
Menurut Anthony Robbin, di dunia ini sebetulnya tidak ada orang yang malas. Orang menjadi malas karena tidak memiliki tujuan yang jelas. Arti tujuan yang jelas disini adalah siswa tidak memiliki kemanfaatan pembelajaran. Mereka tidak paham apa manfaat sebenarnya dari pembelaran itu sendiri.
Rasa malas disini diartikan sebagai keengganan untuk melakukan sesuatu yang seharusnya atau sebaiknya dilakukan .wujud dari kemlasan ini umumnya menunda-nunda pekerjaan. Perasaan ini menggambarkan hilangnya motivasi seseorang untuk melakukan yang terbaik bagi dirinya. Dst …………….

4. Pendidikan Agama Islam
Pendidikan menurut Ahmad D. Marimba adalah bimbingan atau pimpinan secara sadar oleh si pendidik terhadap perkembangan jasmani dan rohani si terdidik menuju terbentuknya keperibadian yang utama. Sedangkan menurut Ki Hajar Dewantara, pendidikan adalah usaha yang dilakukan dengan penuh keinsyafan yang ditujukan untuk keselamatan dan kebahagiaan umat.
Ada beberapa pendapat para ahli tentang pengertian Pendidikan Agama Islam, antara lain:
1. Menurut Omar Muhammad Al-Thoumy al-Syaebani, Pendidikan agama Islam diartikan sebagai usaha mengubah tingkah laku individu dalam kehidupan pribadinya atau kehidupan kemasyarakatannya dan kehidupan dalam alam sekitarnya melalui proses kependidikan.
2. Menurut Agmah D. Marimba, Pendidkan agama Islam adalah suatu bimbingan jasmani dan rohani berdasarhakn hokum-hukum agama Islam menuju terbentuknya kepribadian uatama menurut ukuran-ukuran Islam.
3. Pakar lain berpendapat bahwa pendidikan Islam merupakan pergaulan yang mengandung rasa kemanusiaan terhadap anak dan mengarahkan kepada kebaikan disertaiperasaan cinta kasih kebapakan dengan menyediakan suasana yang baik dimana bakat dan kemampuan anak dapat tumbuh berkembang secara lurus.
Pelaksanaan pendidikan agama Islam harus dilakukan oleh pengajar yang meyakini, mengamalkan dan menguasai bahan agama tersebut. Hal ini karena salah satu tujuan pendidikan nasional adalah meningkatkan ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, dan pendidikan agama juga menjadi tanggung jawab keluarga, masyarakat dan pemerintah. Dst …...
F. Kerangka Pemikiran
Kerangka berpikir merupakan tindak lanjut dari kegiaan pengkajian pustaka yang bertitik dari konsep-konsep, teori-teori, generalisasi-generalisasi yang dibutuhkan dalam penelitian yang akan dilaksanakan. Cik Hasan Bisri (1998:40) mengungkapkan bahwa kerangka berpikir itu dapat berupa kerangka teori dan dapat berbentuk kerangka penalaran logis.
Dari pendapat tersebut, maka yang akan digunakan oleh penulis adalah berdasarkan kerangka teori, yaitu bahwa berdasarkan teori kausalitas, dimana ada sebab disana akibat yang terjadi.
Sebuah kemalasan yang datang dalam diri siswa itu diakibatkan oleh beberapa sebab. Sebab ini harus diketahui secara pasti guna memecahkan masalah yang dihadapi siswa yaitu kemalasan. Yang selanjutnya kemalasan itupun harus dihilangkan oleh beberapa sebab yang akan mendorong menjadi siswa yang penuh dengan motivasi. Yang pada akhirnya akan berhasillan proses pembelajaran yang dilakukan oleh seorang guru.
Dalam penyusunan penelitian ini, penulis membentuk sebuah skema untuk mempermudah penelitian. Skema tersebut adalah:








G. Langkah-langkah Penelitian
1. Lokasi dan Waktu Penelitian
Dalam penelitian ini ditentukan sebagai lokasi penelitian adalah Kelas VI SDN IV Kertaharja Kecamatan Cimerak Kabupaten Ciamis, dengan alasan:
1. Lokasi penelitian mudah dijangkau
2. Penulis juga termasuk salah seorang tenaga pengajar di SDN IV Kertaharja Kecamatan Cimerak Kbupaten Ciamis.
3. Penulis sudah mengenal situasi dan kondisi lokasi penelitian, sehingga memudahkan peneliti untuk melakukan penelitian.
2. Populasi dan Sampel Penelitian
Untuk memudahkan penulis dalam mengumpulkan data, maka terlebih dahulu menentukan objek yang akan diteliti atau objek yang akan dijadikan penelitian dimana disini penulis hanya menentukan populasi tanpa memakai sampel. Objek penelitian yang dijadikan sumber data penulis tentukan adalah siswa kelas VI SDN IV Kertaharja Kecamatan Cimerak Kabupaten Ciamis.
Populasi adalah totalitas semua nilai yang mungkin, hasil menghitung ataupun pengukuran, kuantitatif maupun kualitatif mengenai karakteristik tertentu dari semua anggota kumpulan yang lengkap dan jelas yang ingin dipelajari sifat-sifatnya. Adapun sampel adalah sebagian yang diambil dari populasi (Sujana,1996:6).

3. Metode Penelitian
Metode ialah suatu kerangka kerja untuk melakukan suatu tindakan, atau suatau kerangka berfikir menyusun gagasan yang beraturan, berarah dan berkonteks, yang paut (relevant) dengan maksud dan tujuan. Secara ringkas, metode adalah suatu sistem berbuat. Karena berupa sistem, maka metode merupakan seperangkat unsur-unsur yang membentuk suatu kesatuan.
Metode merupakan suatu cara untuk mencapai tujuan. Dalam kamus Besar Bahasa Indonesia, dijelaskan bahwa Metode adalah cara yang teratur dan terarah baik-baik untuk mencapai tujuan. Metode merupakan cara-cara yang ditempuh guru untuk menciptakan situasi pembelajaran yang benar-benar menyenangkan dan mendukung bagi kelancaran Proses Belajar Mengajar dan tercapainya prestasi belajar anak yang memuaskan. Selanjutnya Surakhmad mengatakan, “Metode adalah suatu cara utama yang digunakan untuk mencapai tujuan” (1985: 31). Oleh karena itu, metode yang relevan dengan suatu kegiatan akan menunjang keberhasilan suatu penelitian. Metode kualitatif yang digunakan dalam penelitian ini bertujuan untuk mencari data secara merata dari peserta didik secara komprehensif tentang pembelajaran Pendidikan Agama Islam.
Data kualitatif adalah jenis data deskriptif berupa kata tertulis atau lisan dari orang atau perilaku yang diamati ( Moleong, 1994 : 3 ). Meski diakui langkah penelitian pada masalah ini lebih terpokus kedalam jenis data kualitatif dimana akan bersumber pada hasil pengumpulan dengan teknik observasi dan wawancara.
Pelaksanaan Metode deskriptif ini akan didasarkan pada pendapat Moh. Nazir, Ph.D (1988 : 63 ) yang mengatakan bahwa “Metode deskriptif tidak terbatas hanya sampai pengumpulan data dari penyusunan data tetapi juga meliputi analisis dan interpretasi tentang arti data itu sendiri. Dst………………………………………
4. Teknik Pengumpulan Data
Dalam pelaksanaan pengumpulan data, peneliti dapat menerapkan teknik pengamatan (observation), wawancara (interview), dengan menggunakan alat bantu seperti tape recorder, foto, slide, dan sebagainya.
Adapun instrumen penelitian dalam pengumpulan data yang akan digunakan adalah:
1. Observasi
Metode observasi, yaitu salah satu metode yang digunakan dalam penelitian. Observasi ialah studi yang disengaja dan sistematis tentang fenomena sosial dan gejala –gejala alam dengan jalan pengamatan dan pencatatan. Bisa juga diartikan merupakan sebuah akitvitas penelitian yang dilakukan secara sistematis dalam rangka mengumpulkan data yang berkaitan dengan masalah penelitian melalui proses pengamatan langsung di lapangan. Metode observasi yang dapat digunakan dalam penelitian ini diantaranya : Metode observasi terlibat ( partisipatif ) yaitu observasi yang dilakukan pengamat dengan cara melibatkan diri kedalam lingkungan obyek pengamatan. Penggunaan observasi atau pengamatan terlibat sebagai metode pengumpulan data sesuai sifat penelitian ini. Sebab pada penelitian kualitatif menuntut peneliti untuk menjadi instrumen atau alat penelitian. Maksudnya, peneliti harus mencari data sendiri dengan cara terjun langsung ke lokasi penelitian untuk memperoleh data yang diperlukan sesuai dengan permasalahan yang diajukan. Dengan pengamatan terlibat ini, peneliti seolah-olah menjadi anggota yang sering bergaul dalam setiap aktifitas organisasi. Sehingga dengan metode ini segala macam informasi termasuk rahasia sekalipn, dapat diperoleh dengan mudah. Dengan sistem kerja yang akan dilakukan pada metode observasi ini sesuai dengan apa yang dikemukakan Sanapiah Faisol (1990:78-79) yang dipilah menurut jenisnya sebagai berikut: 1) metode partisipatif, yaitu observasi yang sekaligus melibatkan diri selaku ’orang dalam’ pada suatu situasi sosial. Hal ini dimaksudkan agar peneliti tidak hanya berdiri sebagai orang luar dalam situasi sosial yang tengah diobservasi tetapi juga sekaligus melibatkan diri selaku orang dalam. Karena dalam kondisi saat ini yang menjdi kepentingan peneliti adalah pengumpulan data atau informasi dengan mudah dan leluasa. Untuk observasi partisipatif ini pada kondisi awal disuatu situasi sosial, peneliti lebih menonjolkan sebagai peneliti atau pengamat, meskipun kadang-kadang ikut serta seadanya sebagai pelaku kegiatan sebagaimana selayaknya orang dalam. Dan pada kondisi dan situasi selanjutnya tergantung pada kebutuhan dan perkembangandari pad aobservasi yang sedang dialakukan. Selain itu tingkay kedalaman pada observasi partisipatif terasebut biasanya tergangtung pada kesempatan atau waktu peneliti di lapangan dan karakteristik situasi sosial yang diteliti. 2) Observasi terus terang dan tersamar. Pada situasi dan kondisi tertentu perlu menggunakan observasi secara terang-terangan, dengan maksud segala data / informasi yang diinginkan dengan terlebih dahulu mengatakan maksud dan tujuan diadakannya observasi, mak informasi yang akan diperolehnyapun dengan mudah akan didapatkan. Dan pada kondisi ini pula perlu juga melakukan observasi secara tersamar sebab adalah tidak realistik untuk serba terus terang mengamat suatu situasi.
3) Observasi tidak berstruktur. Observasi ini sangatlah mungkin dilakukan sebab, apa yang diperlukan dan relevan di observasi lazimnya tidak dapat dispesifikkan sebelumnya. Fokus observasi penelitian kualitatif biasanya berkembang sewaktu kegiatan penelitian berlangsung. Jdi tidak perlu menggunakan panduan yang telah disiapkan sebelumnya. Sumber-sumber informasi non manusia, seperti dokumen dan rekaman/catatan ( record ) dipandang perlu karena cukup bermanfaat. Menurut Linkoln dan guba, selain ia sudah tersedia sehingga relatif pengeluaran biaya untuk memperolehnya, juga merupakan sumber yang stabil dan barang kali juga akurat sebagai cerminan situasi dan kondisi yang sebenarnya. Untuk informasi konteks, ia dapat merupakan sumber yang cukup kaya. Ia merupakan data yang legal dapat diterima dan tidak dapat memberikan reaksi apapun pada peneliti sebagaimana halnya sumber data yang berupa manusia. Pengumpulan data dari sumber-sumber non manusia ini digunakan terutama untuk kegunaan tahap eksplorasi menyeluruh.
Metode observasi sistematis (berstruktur), pada pengamatan berstruktur, si peneiti sudah mengetahui aspek apa saja dari aktivitas yang diamati, yang relevan dengan masalah dan tujuan penelitian.
Ciri-ciri observasi sistematis diantaranya:
 Materi observasi lebih terbatas, sesuai dengan tujuan penelitian
 Mempunyai struktur atau kerangka yang jelas, yang memuat faktor-fktor yang telah diatur kategorinya terlebih dahulu
 Cara pencatatan bisa menggunakan tape recorder, camera, video shooting, dan lain lain. Inilah beberapa tehnik pengumpulan data yang bisa digunakan dalam penelitian ini. Dapat dijadikan pilihan dalam melakukan penelitian. Mana metode yang memang sesuai untuk digunakan dalam penelitian ini, karena metode yang digunakan juga harus bisa menyesuaikan situasi dan kondisi si lokasi penelitian. Karena untuk mendapat data yang tepat dan sesuai dengan data yang dibutuhkan, yaitu sesuai dengan tujuan penelitian.

2. Wawancara
Menurut Moelong interview/wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu. Percakapan itu dilakukan oleh 2 (dua) pihak, yaitu pewawancara (interviewer) yang mengajukan pertanyaan dan yang di wawancarai (interviewee) yang memberikan jawaban atas pertanyaan itu. Sedangkan menurut Arikunto interview/wawancara adalah suatu dialog yang dilakukan pewawancara untuk memperoleh informasi dari terwawancara. Margono juga mengemukakan pendapat yang hampir sama bahwa wawancara adalah alat pengumpul informasi dengan cara mengajukan sejumlah pertanyaan secara lisan dan dijawab secara lisan pula. Ciri utamanya adalah kontak langsung antara pencarii informasi dengan sumber informasi.
Berdasarkan pendapat diatas, maka dapat disimpulkan bahwa metode interview/wawancara adalah suatu metode pengumpulan data yang dilaksanakan dengan tanya jawab lisan antara pewawancara dan terwawancara. Ada tiga jenis interview/wawancara, yaitu:
1. Interview/wawancara bebas (inguided interview) Adalah pewawancara bebas menanyakan apa saja, tetapi juga mengingat akan data apa yang akan dikumpulkan.
2. Interview/wawancara terpimpin (guided interview) Adalah interview/wawancara dilakukan mewawancara dengan membawa sederetan pertanyaan lengkap dan terperinci seperti yang dimaksud dalam Interview/wawancara terstruktur.
3. Interview/wawancara bebas terpimpin Adalah kombinasi antara interview/wawancara bebas dan interview/wawancara terpimpin. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan jenis wawancara bebas terpimpin. Dalam jenis wawancara bebas terpimpin menurut Hadi adalah pewawancara membawa kerangka untuk disajikan. Tetapi cara menyajikan dan irama pertanyaan-pertanyaan itu diserahkan kepada kebijaksanaan pewawancara. Dengan demikian wawancara masih terletak di tangan pewawancara. Sedangkan menurut Nawawi, wawancara bebas terpimpin merupakan tehnik wawancara dimana pewawancara membawa kerangka pertanyaan, tetapi bagaimana pertanyaan itu dilaksanakan semuanya tergantung kebijaksanaan pewawancara
Berdasarkan pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa wawancara bebas terpimpin adalah suatu wawancara bebas yang terjadi dimana pewawancara sudah menyiapkan sejumlah pertanyaan (kerangka pertanyaan) yang akan ditanyakan kepada terwawancara. Tetapi cara mewawancarai tergantung kepada kemampuan pewawancara. Dalam penelitian ini wawancara dilakukan secara mendalam, terbuka, dengan memanfaatkan kedekatan hubungan dengan sumber data. Hal ini dilakukan dengan mengadakan pendekatan terhadap informan dan menggunakan petunjuk umum wawancara serta membuat kerangka dan garis besar pokok-pokok yang akan ditanyakan dalam proses wawancara tersebut.
5. Teknik analisis data
Mengenai analisis data penulis mencoba terlebih dahulu mengumpulkan beberapa literatur bacaan sebagai sumber rujukan yang kemudian dijadikan sebagai data teoritis dan menganalisisnya sehingga kemudian digunakan sebagai pelengkap dalam memecahkan masalah penelitian ini. Data yang akan dihimpun dalam penelitian ini dikuantifikasikan kedalam data kualitatif. Langkah-langkah dalam menganalisis data akan menggunakan studi grounded theory.
Langkah-langkah analisis data pada studi grounded theory, yaitu:
a. Mengorganisir data
b. Membaca keseluruhan informasi dan memberi kode.
c. Open coding, peneliti membentuk kategori informasi tentang peristiwa dipelajari.
d. Axial coding, peneliti mengidentifikasi suatu peristiwa, menyelidiki kondisi-kondisi yang menyebabkannya, mengidentifikasi setiap kondisi-kondisi, dan menggambarkan peristiwa tersebut.
e. Selective coding, peneliti mengidentifikasi suatu jalan cerita dan mengintegrasikan kategori di dalam model axial coding.
Selanjutnya peneliti boleh mengembangkan dan menggambarkan suatu acuan yang menerangkan keadaan sosial, sejarah, dan kondisi ekonomi yang mempengaruhi peristiwa.

Proposal penelitian Kemalasan Siswa

UPAYA GURU DALAM MENANGANI KEMALASAN SISWA PADA MATA PELAJARAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
( Penelitian di Kelas VI SDN IV Kertaharja Kecamatan Cimerak Kab. Ciamis )

A. Latar Belakang Masalah
Pendidikan Agama Islam sangatlah penting untuk diterapkan pada jiwa anak didik. Karena, siswa tidak hanya memahami pelajaran PAI tetapi mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari. Yang terlihat dalam sebuah prilaku siswa.
Guru yang profesional akan mengembangkan unsur-unsur tersebut. Sehingga siswa akan merasakan keterlibatannya dalam mengaplikasikan pembelajaran PAI dalam kehidupan sehari-harinya. Namun ada saatnya siswa mengalami kejenuhan atau kebosanan yang pada akhirnya siswa merasa malas untuk mengikuti kegiatan pembelajaran Pendidikan Agama Islam.
Kemalasan akan berakibat patal adalam pembelajaran. Maka tugas guru adalah membunuh sifat malas tersebut dari diri siswa itu sendiri. Sehingga timbul kembali rasa semangat dan motivasi tinggi untuk menggali ilmu-ilmu agama Islam dalam pembelajaran Pendidikan Agama Islam.
Bertitik tolak dari permasalahan tersebut di atas, penulis sangat tertarik untuk meneliti lebih lanjut dan lebih komperhensip, dengan mencoba membahasnya dalam sebuah penelitian dengan judul “UPAYA GURU DALAM MENANGANI KEMALASAN SISWA PADA MATA PELAJARAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM ( Penelitian di Kelas VI SDN IV Kertaharja Kecamatan Cimerak Kab. Ciamis)”

B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang penelitian diatas, maka penelitian ini akan memfokuskan pada permasalahan upaya guru dalam menangani kemalasan siswa dalam mata pelajaran Pendidikan Agama Islam. Berkaitan dengan itu, penelitian ini akan mejawab pertanyaan sebagai berikut :
1. Bagaimankah Peranan Mata Pelajaran Pendidikan Agama Islam terhadap kebiasaan siswa kelas VI di SDN IV Kertaharja ?
2. Bagaimanakah menumbuhkan motivasi belajar dalam Pendidikan Agama Islam siswa kelas VI di SDN IV Kertaharja ?
3. Metode apa yang digunakan dalam pembelajaran Pendidikan Agama Islam terhadap siswa kelas VI di SDN IV Kertaharja ?
4. Upaya-upaya apa yang dilakukan guru terhadap kemalasan siswa?

C. Tujuan Penelitian
Ada beberapa hal yang menjadi dasar tujuan dari penelitian ini yaitu seberapa jauh upaya guru dalam menangani kemalasan siswa dalam mata pelajaran Pendidikan Agama Islam. Tujuan selengkapnya dari penelitian ini adalah untuk mengetahui :
1. Pengembangan kurikulum Mata Pelajaran Pendidikan Agama Islam di kelas VI SDN IV Kertaharja Kecamatan Cimerak Kabupaten Ciamis.
2. Penerapan metode-metode pembelajaran Mata Pelajaran Pendidikan Agama Islam di kelas VI SDN IV Kertaharja Kecamatan Cimerak Kabupaten Ciamis.
3. Timbulnya kemalasan dalam Mata Pelajaran Pendidikan Agama Islam di kelas VI SDN IV Kertaharja Kecamatan Cimerak Kabupaten Ciamis.

D. Kegunaan Penelitian
Hasil Penelitian ini diharapkan mempunyai kegunaan sebagai pengembangan ilmu pendidikan Islam serta guna laksana. Setelahnya melakukan penelitian diharapkan memiliki manfaat atau guna baik masyarakat pesantren Kalangsari, penyusun, ataupun bagi masyarakat secara umum. Penelitian ini sangatlah penting sekali dilakukan sebagai media untuk memahami dan mengevaluasi keadaan pembelajaran di Pondok Pesantren Kalangsari .
Adapun manfaat teoritis dan praktis dari penelitian ini diharapkan untuk :
1. Memberikan referensi bagi SDN IV Kertaharja Kecamatan Cimerak Kabupaten Ciamis dalam mengelola kelas.
2. Membantu guru dalam memecahkan masalah dalam hal kemasalan siswa dalam mata pelajaran Pendidikan Agama Islam.
3. Memperluas pengetahun peneliti dalam masalah yang menimbulkan kemalasan dalam diri siswa.
4. Mengetahui upaya-upaya guru untuk menghilangkan kemalasan siswa.
5. Memberi insfirasi dan sebagai referensi untuk penelitian-penelitian berikutnya yang relevan.
E. Tinjauan Pustaka
Pada bagian ini peneliti akan mengemukakan teori-teori, asumsi-asumsi maupun generalisasi yang diambil dari berbagai literature terkait.
1. Upaya
Upaya dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah usaha; akal; ikhtiar (untuk mencapai suatu maksud, memecahkan persoalan, mencari jalan keluar). Sebuah permasalahan haruslah diselesaikan dengan adanya beberapa upaya. Kehadiran upaya ini akan menimbulkan beberapa pemecahan permasalahan yang kita hadapi. Dst ……………
2. Guru
Guru adalah orang yang pekerjaanya (mata pencariannya, profesinya) mengajar (Kamus Besar Bahasa Indonesia:330). Dalam proses belajar mengajar, guru mempunyai tugas untuk mendorong, membimbing, dam memberikan fasilitas belajar bagi murid-murid untuk mencapai tujuan. Guru mempunyai tanggung jawab untuk melihat segala sesuatu yang terjadi dalam kelas untuk membantu proses perkembangan anak. Dst ……………
3. Kemalasan Siswa
Malas dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia memiliki arti tidak mau bekerja atau mengerjakan sesuatu dan kemalasan memiliki arti perihal malas; sifat (keadaan) malas. Kemalasan dalam belajar berarti siswa tidak mau mengikuti pembelajaran. Kemalasan ini ditimbulkan dari beberapa aspek diantaranya Guru atau pengajar, siswa itu sendiri, lingkungan bermain ataupun masalah keluarga.
Menurut Anthony Robbin, di dunia ini sebetulnya tidak ada orang yang malas. Orang menjadi malas karena tidak memiliki tujuan yang jelas. Arti tujuan yang jelas disini adalah siswa tidak memiliki kemanfaatan pembelajaran. Mereka tidak paham apa manfaat sebenarnya dari pembelaran itu sendiri.
Rasa malas disini diartikan sebagai keengganan untuk melakukan sesuatu yang seharusnya atau sebaiknya dilakukan .wujud dari kemlasan ini umumnya menunda-nunda pekerjaan. Perasaan ini menggambarkan hilangnya motivasi seseorang untuk melakukan yang terbaik bagi dirinya. Dst …………….

4. Pendidikan Agama Islam
Pendidikan menurut Ahmad D. Marimba adalah bimbingan atau pimpinan secara sadar oleh si pendidik terhadap perkembangan jasmani dan rohani si terdidik menuju terbentuknya keperibadian yang utama. Sedangkan menurut Ki Hajar Dewantara, pendidikan adalah usaha yang dilakukan dengan penuh keinsyafan yang ditujukan untuk keselamatan dan kebahagiaan umat.
Ada beberapa pendapat para ahli tentang pengertian Pendidikan Agama Islam, antara lain:
1. Menurut Omar Muhammad Al-Thoumy al-Syaebani, Pendidikan agama Islam diartikan sebagai usaha mengubah tingkah laku individu dalam kehidupan pribadinya atau kehidupan kemasyarakatannya dan kehidupan dalam alam sekitarnya melalui proses kependidikan.
2. Menurut Agmah D. Marimba, Pendidkan agama Islam adalah suatu bimbingan jasmani dan rohani berdasarhakn hokum-hukum agama Islam menuju terbentuknya kepribadian uatama menurut ukuran-ukuran Islam.
3. Pakar lain berpendapat bahwa pendidikan Islam merupakan pergaulan yang mengandung rasa kemanusiaan terhadap anak dan mengarahkan kepada kebaikan disertaiperasaan cinta kasih kebapakan dengan menyediakan suasana yang baik dimana bakat dan kemampuan anak dapat tumbuh berkembang secara lurus.
Pelaksanaan pendidikan agama Islam harus dilakukan oleh pengajar yang meyakini, mengamalkan dan menguasai bahan agama tersebut. Hal ini karena salah satu tujuan pendidikan nasional adalah meningkatkan ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, dan pendidikan agama juga menjadi tanggung jawab keluarga, masyarakat dan pemerintah. Dst …...
F. Kerangka Pemikiran
Kerangka berpikir merupakan tindak lanjut dari kegiaan pengkajian pustaka yang bertitik dari konsep-konsep, teori-teori, generalisasi-generalisasi yang dibutuhkan dalam penelitian yang akan dilaksanakan. Cik Hasan Bisri (1998:40) mengungkapkan bahwa kerangka berpikir itu dapat berupa kerangka teori dan dapat berbentuk kerangka penalaran logis.
Dari pendapat tersebut, maka yang akan digunakan oleh penulis adalah berdasarkan kerangka teori, yaitu bahwa berdasarkan teori kausalitas, dimana ada sebab disana akibat yang terjadi.
Sebuah kemalasan yang datang dalam diri siswa itu diakibatkan oleh beberapa sebab. Sebab ini harus diketahui secara pasti guna memecahkan masalah yang dihadapi siswa yaitu kemalasan. Yang selanjutnya kemalasan itupun harus dihilangkan oleh beberapa sebab yang akan mendorong menjadi siswa yang penuh dengan motivasi. Yang pada akhirnya akan berhasillan proses pembelajaran yang dilakukan oleh seorang guru.
Dalam penyusunan penelitian ini, penulis membentuk sebuah skema untuk mempermudah penelitian. Skema tersebut adalah:








G. Langkah-langkah Penelitian
1. Lokasi dan Waktu Penelitian
Dalam penelitian ini ditentukan sebagai lokasi penelitian adalah Kelas VI SDN IV Kertaharja Kecamatan Cimerak Kabupaten Ciamis, dengan alasan:
1. Lokasi penelitian mudah dijangkau
2. Penulis juga termasuk salah seorang tenaga pengajar di SDN IV Kertaharja Kecamatan Cimerak Kbupaten Ciamis.
3. Penulis sudah mengenal situasi dan kondisi lokasi penelitian, sehingga memudahkan peneliti untuk melakukan penelitian.
2. Populasi dan Sampel Penelitian
Untuk memudahkan penulis dalam mengumpulkan data, maka terlebih dahulu menentukan objek yang akan diteliti atau objek yang akan dijadikan penelitian dimana disini penulis hanya menentukan populasi tanpa memakai sampel. Objek penelitian yang dijadikan sumber data penulis tentukan adalah siswa kelas VI SDN IV Kertaharja Kecamatan Cimerak Kabupaten Ciamis.
Populasi adalah totalitas semua nilai yang mungkin, hasil menghitung ataupun pengukuran, kuantitatif maupun kualitatif mengenai karakteristik tertentu dari semua anggota kumpulan yang lengkap dan jelas yang ingin dipelajari sifat-sifatnya. Adapun sampel adalah sebagian yang diambil dari populasi (Sujana,1996:6).

3. Metode Penelitian
Metode ialah suatu kerangka kerja untuk melakukan suatu tindakan, atau suatau kerangka berfikir menyusun gagasan yang beraturan, berarah dan berkonteks, yang paut (relevant) dengan maksud dan tujuan. Secara ringkas, metode adalah suatu sistem berbuat. Karena berupa sistem, maka metode merupakan seperangkat unsur-unsur yang membentuk suatu kesatuan.
Metode merupakan suatu cara untuk mencapai tujuan. Dalam kamus Besar Bahasa Indonesia, dijelaskan bahwa Metode adalah cara yang teratur dan terarah baik-baik untuk mencapai tujuan. Metode merupakan cara-cara yang ditempuh guru untuk menciptakan situasi pembelajaran yang benar-benar menyenangkan dan mendukung bagi kelancaran Proses Belajar Mengajar dan tercapainya prestasi belajar anak yang memuaskan. Selanjutnya Surakhmad mengatakan, “Metode adalah suatu cara utama yang digunakan untuk mencapai tujuan” (1985: 31). Oleh karena itu, metode yang relevan dengan suatu kegiatan akan menunjang keberhasilan suatu penelitian. Metode kualitatif yang digunakan dalam penelitian ini bertujuan untuk mencari data secara merata dari peserta didik secara komprehensif tentang pembelajaran Pendidikan Agama Islam.
Data kualitatif adalah jenis data deskriptif berupa kata tertulis atau lisan dari orang atau perilaku yang diamati ( Moleong, 1994 : 3 ). Meski diakui langkah penelitian pada masalah ini lebih terpokus kedalam jenis data kualitatif dimana akan bersumber pada hasil pengumpulan dengan teknik observasi dan wawancara.
Pelaksanaan Metode deskriptif ini akan didasarkan pada pendapat Moh. Nazir, Ph.D (1988 : 63 ) yang mengatakan bahwa “Metode deskriptif tidak terbatas hanya sampai pengumpulan data dari penyusunan data tetapi juga meliputi analisis dan interpretasi tentang arti data itu sendiri. Dst………………………………………
4. Teknik Pengumpulan Data
Dalam pelaksanaan pengumpulan data, peneliti dapat menerapkan teknik pengamatan (observation), wawancara (interview), dengan menggunakan alat bantu seperti tape recorder, foto, slide, dan sebagainya.
Adapun instrumen penelitian dalam pengumpulan data yang akan digunakan adalah:
1. Observasi
Metode observasi, yaitu salah satu metode yang digunakan dalam penelitian. Observasi ialah studi yang disengaja dan sistematis tentang fenomena sosial dan gejala –gejala alam dengan jalan pengamatan dan pencatatan. Bisa juga diartikan merupakan sebuah akitvitas penelitian yang dilakukan secara sistematis dalam rangka mengumpulkan data yang berkaitan dengan masalah penelitian melalui proses pengamatan langsung di lapangan. Metode observasi yang dapat digunakan dalam penelitian ini diantaranya : Metode observasi terlibat ( partisipatif ) yaitu observasi yang dilakukan pengamat dengan cara melibatkan diri kedalam lingkungan obyek pengamatan. Penggunaan observasi atau pengamatan terlibat sebagai metode pengumpulan data sesuai sifat penelitian ini. Sebab pada penelitian kualitatif menuntut peneliti untuk menjadi instrumen atau alat penelitian. Maksudnya, peneliti harus mencari data sendiri dengan cara terjun langsung ke lokasi penelitian untuk memperoleh data yang diperlukan sesuai dengan permasalahan yang diajukan. Dengan pengamatan terlibat ini, peneliti seolah-olah menjadi anggota yang sering bergaul dalam setiap aktifitas organisasi. Sehingga dengan metode ini segala macam informasi termasuk rahasia sekalipn, dapat diperoleh dengan mudah. Dengan sistem kerja yang akan dilakukan pada metode observasi ini sesuai dengan apa yang dikemukakan Sanapiah Faisol (1990:78-79) yang dipilah menurut jenisnya sebagai berikut: 1) metode partisipatif, yaitu observasi yang sekaligus melibatkan diri selaku ’orang dalam’ pada suatu situasi sosial. Hal ini dimaksudkan agar peneliti tidak hanya berdiri sebagai orang luar dalam situasi sosial yang tengah diobservasi tetapi juga sekaligus melibatkan diri selaku orang dalam. Karena dalam kondisi saat ini yang menjdi kepentingan peneliti adalah pengumpulan data atau informasi dengan mudah dan leluasa. Untuk observasi partisipatif ini pada kondisi awal disuatu situasi sosial, peneliti lebih menonjolkan sebagai peneliti atau pengamat, meskipun kadang-kadang ikut serta seadanya sebagai pelaku kegiatan sebagaimana selayaknya orang dalam. Dan pada kondisi dan situasi selanjutnya tergantung pada kebutuhan dan perkembangandari pad aobservasi yang sedang dialakukan. Selain itu tingkay kedalaman pada observasi partisipatif terasebut biasanya tergangtung pada kesempatan atau waktu peneliti di lapangan dan karakteristik situasi sosial yang diteliti. 2) Observasi terus terang dan tersamar. Pada situasi dan kondisi tertentu perlu menggunakan observasi secara terang-terangan, dengan maksud segala data / informasi yang diinginkan dengan terlebih dahulu mengatakan maksud dan tujuan diadakannya observasi, mak informasi yang akan diperolehnyapun dengan mudah akan didapatkan. Dan pada kondisi ini pula perlu juga melakukan observasi secara tersamar sebab adalah tidak realistik untuk serba terus terang mengamat suatu situasi.
3) Observasi tidak berstruktur. Observasi ini sangatlah mungkin dilakukan sebab, apa yang diperlukan dan relevan di observasi lazimnya tidak dapat dispesifikkan sebelumnya. Fokus observasi penelitian kualitatif biasanya berkembang sewaktu kegiatan penelitian berlangsung. Jdi tidak perlu menggunakan panduan yang telah disiapkan sebelumnya. Sumber-sumber informasi non manusia, seperti dokumen dan rekaman/catatan ( record ) dipandang perlu karena cukup bermanfaat. Menurut Linkoln dan guba, selain ia sudah tersedia sehingga relatif pengeluaran biaya untuk memperolehnya, juga merupakan sumber yang stabil dan barang kali juga akurat sebagai cerminan situasi dan kondisi yang sebenarnya. Untuk informasi konteks, ia dapat merupakan sumber yang cukup kaya. Ia merupakan data yang legal dapat diterima dan tidak dapat memberikan reaksi apapun pada peneliti sebagaimana halnya sumber data yang berupa manusia. Pengumpulan data dari sumber-sumber non manusia ini digunakan terutama untuk kegunaan tahap eksplorasi menyeluruh.
Metode observasi sistematis (berstruktur), pada pengamatan berstruktur, si peneiti sudah mengetahui aspek apa saja dari aktivitas yang diamati, yang relevan dengan masalah dan tujuan penelitian.
Ciri-ciri observasi sistematis diantaranya:
 Materi observasi lebih terbatas, sesuai dengan tujuan penelitian
 Mempunyai struktur atau kerangka yang jelas, yang memuat faktor-fktor yang telah diatur kategorinya terlebih dahulu
 Cara pencatatan bisa menggunakan tape recorder, camera, video shooting, dan lain lain. Inilah beberapa tehnik pengumpulan data yang bisa digunakan dalam penelitian ini. Dapat dijadikan pilihan dalam melakukan penelitian. Mana metode yang memang sesuai untuk digunakan dalam penelitian ini, karena metode yang digunakan juga harus bisa menyesuaikan situasi dan kondisi si lokasi penelitian. Karena untuk mendapat data yang tepat dan sesuai dengan data yang dibutuhkan, yaitu sesuai dengan tujuan penelitian.

2. Wawancara
Menurut Moelong interview/wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu. Percakapan itu dilakukan oleh 2 (dua) pihak, yaitu pewawancara (interviewer) yang mengajukan pertanyaan dan yang di wawancarai (interviewee) yang memberikan jawaban atas pertanyaan itu. Sedangkan menurut Arikunto interview/wawancara adalah suatu dialog yang dilakukan pewawancara untuk memperoleh informasi dari terwawancara. Margono juga mengemukakan pendapat yang hampir sama bahwa wawancara adalah alat pengumpul informasi dengan cara mengajukan sejumlah pertanyaan secara lisan dan dijawab secara lisan pula. Ciri utamanya adalah kontak langsung antara pencarii informasi dengan sumber informasi.
Berdasarkan pendapat diatas, maka dapat disimpulkan bahwa metode interview/wawancara adalah suatu metode pengumpulan data yang dilaksanakan dengan tanya jawab lisan antara pewawancara dan terwawancara. Ada tiga jenis interview/wawancara, yaitu:
1. Interview/wawancara bebas (inguided interview) Adalah pewawancara bebas menanyakan apa saja, tetapi juga mengingat akan data apa yang akan dikumpulkan.
2. Interview/wawancara terpimpin (guided interview) Adalah interview/wawancara dilakukan mewawancara dengan membawa sederetan pertanyaan lengkap dan terperinci seperti yang dimaksud dalam Interview/wawancara terstruktur.
3. Interview/wawancara bebas terpimpin Adalah kombinasi antara interview/wawancara bebas dan interview/wawancara terpimpin. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan jenis wawancara bebas terpimpin. Dalam jenis wawancara bebas terpimpin menurut Hadi adalah pewawancara membawa kerangka untuk disajikan. Tetapi cara menyajikan dan irama pertanyaan-pertanyaan itu diserahkan kepada kebijaksanaan pewawancara. Dengan demikian wawancara masih terletak di tangan pewawancara. Sedangkan menurut Nawawi, wawancara bebas terpimpin merupakan tehnik wawancara dimana pewawancara membawa kerangka pertanyaan, tetapi bagaimana pertanyaan itu dilaksanakan semuanya tergantung kebijaksanaan pewawancara
Berdasarkan pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa wawancara bebas terpimpin adalah suatu wawancara bebas yang terjadi dimana pewawancara sudah menyiapkan sejumlah pertanyaan (kerangka pertanyaan) yang akan ditanyakan kepada terwawancara. Tetapi cara mewawancarai tergantung kepada kemampuan pewawancara. Dalam penelitian ini wawancara dilakukan secara mendalam, terbuka, dengan memanfaatkan kedekatan hubungan dengan sumber data. Hal ini dilakukan dengan mengadakan pendekatan terhadap informan dan menggunakan petunjuk umum wawancara serta membuat kerangka dan garis besar pokok-pokok yang akan ditanyakan dalam proses wawancara tersebut.
5. Teknik analisis data
Mengenai analisis data penulis mencoba terlebih dahulu mengumpulkan beberapa literatur bacaan sebagai sumber rujukan yang kemudian dijadikan sebagai data teoritis dan menganalisisnya sehingga kemudian digunakan sebagai pelengkap dalam memecahkan masalah penelitian ini. Data yang akan dihimpun dalam penelitian ini dikuantifikasikan kedalam data kualitatif. Langkah-langkah dalam menganalisis data akan menggunakan studi grounded theory.
Langkah-langkah analisis data pada studi grounded theory, yaitu:
a. Mengorganisir data
b. Membaca keseluruhan informasi dan memberi kode.
c. Open coding, peneliti membentuk kategori informasi tentang peristiwa dipelajari.
d. Axial coding, peneliti mengidentifikasi suatu peristiwa, menyelidiki kondisi-kondisi yang menyebabkannya, mengidentifikasi setiap kondisi-kondisi, dan menggambarkan peristiwa tersebut.
e. Selective coding, peneliti mengidentifikasi suatu jalan cerita dan mengintegrasikan kategori di dalam model axial coding.
Selanjutnya peneliti boleh mengembangkan dan menggambarkan suatu acuan yang menerangkan keadaan sosial, sejarah, dan kondisi ekonomi yang mempengaruhi peristiwa.